Selasa, 11 Maret 2014

Aku Sangat Membutuhkan-Mu

Segala puji untuk Allah, Yang menciptakan manusia dan tidak membutuhkan mereka, Yang menciptakan mereka agar mau tunduk dan mengagungkan-Nya, Yang segala manfaat dan madharat ada di tangan-Nya. Semoga pujian dan keselamatan terlimpah kepada Nabi pilihan, sang kekasih ar-Rahman, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Amma ba’du.

Saudaraku, menjalani kehidupan di alam dunia adalah sebuah cobaan dari Rabbul ‘alamin. Allah ta’ala berfirman :

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2).

Untuk itulah, sebaik-baik insan adalah yang senantiasa menghadirkan perasaan bahwa Rabbnya sedang mengujinya, dengan apapun yang sedang dialaminya; kesenangan, musibah, ataupun terjerembab dalam dosa.
Apakah dia bisa menjadi seorang hamba yang merendahkan diri dan mengagungkan Rabbnya dengan penuh rasa cinta kepada-Nya, yaitu dengan mempersembahkan ibadahnya hanya untuk Dia semata.

Sebagaimana ayat yang selalu kita baca setiap harinya, di setiap raka’at sholat yang kita lakukan. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. ‘Hanya kepada-Mu –ya Allah- kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.’ Dari situlah, maka segala bentuk kejadian yang menimpanya semestinya dapat menjadi sarana untuk menggapai ridha dan cinta-Nya.

Tatkala kenikmatan menyapa, maka segenap rasa syukur pun dia panjatkan kepada-Nya. Tatkala musibah melanda dan menyayat hati, maka ridha dengan takdir dan bersabar menerima kenyataan adalah ibadah yang akan menghiasi hati, lisan, dan anggota badannya.

Demikian pula, ketika hawa nafsu dan bujukan syaitan memperdaya dirinya sehingga dia pun menerjang larangan atau melalaikan kewajibannya, maka kesejukan taubat dan air mata penyesalan akan menghampiri jiwanya.

Saudaraku, berapa banyak kenikmatan yang telah dicurahkan Rabbul ‘alamin kepada kita? Entah berapa banyak, tak ada seorang profesor pun yang yang bisa menjawabnya. Namun, lihatlah keadaan dan tingkah laku kita… Betapa sedikit rasa syukur kita kepada-Nya, dan betapa banyak kemaksiatan yang kita lakukan kepada-Nya. Orang bilang, ‘air susu dibalas air tuba’. Alangkah buruknya, akhlak kita kepada-Nya…

Kita mengaku muslim (orang yang pasrah), namun betapa sering kita membantah aturan dan kebijaksanaan-Nya.

Kita mengaku beriman, namun betapa sering perintah dan larangan-Nya kita ingkari serta berita-Nya yang kita abaikan.

Aduhai, apakah kita merasa mampu membahayakan Rabb yang menguasai jagad raya, dengan kedurhakaan kita kepada-Nya? Demi Allah, hal itu tidaklah bisa membahayakan-Nya! Kamu ini hidup untuk apa?!

Allah berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)

Saudaraku, banyak orang mengira dengan maksiat mereka akan meraih bahagia. Padahal, sebaliknya. Kebahagiaan sejati tak pernah bisa diraih dengan kedurhakaan kepada-Nya. Seorang profesor yang mulia Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah beberapa waktu lalu –dalam ceramahnya di Masjid Istiqlal Jakarta- menyampaikan nasehat yang sangat indah untuk kaum muslimin di Indonesia. Beliau berkata, ‘as-Sa’aadah biyadillah, wa laa tunaalu illa bi thaa’atillah’.

Kebahagiaan itu ada di tangan Allah, dan ia tak akan diraih kecuali dengan taat kepada Allah. Sebuah kalimat yang ringkas, namun sarat akan makna! Semoga Allah membalas beliau dengan sebaik-baik balasan atas nasehat dan arahannya untuk kita…

Saudaraku, demikianlah kenyataannya. Tak ada setetes pun kebahagiaan yang hakiki yang akan diperoleh seorang hamba yang lemah dan penuh dengan kekurangan kecuali dengan cara tunduk dan taat kepada Rabb yang menciptakannya. Oleh sebab itu, Allah mengingatkan segenap insan di alam dunia ini bahwa keberuntungan dan kebahagiaan hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar taat dan mengabdi kepada-Nya. Allah berfirman :

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa, sesungguhnya semua orang benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal salih, serta saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 1-3).

Allah juga mengingatkan :

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

“Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan sesat dan tidak akan binasa.” (QS. Thaha: 123).

Allah berfirman :

فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Barangsiapa yang dibebaskan dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga maka sesungguhnya dia telah beruntung/sukses. Tidaklah kehidupan dunia ini melainkan sekedar kesenangan yang menipu.” (QS. Ali Imran: 185).

Allah ‘azza wa jalla juga menyatakan :

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41

“Adapun barangsiapa yang merasa takut akan kedudukan Rabbnya dan menahan dirinya dari memperturutkan hawa nafsunya, maka surgalah tempat kembalinya.” (QS. an-Naazi’aat: 40-41)

Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Tidak ada kehidupan bagi hati, tidak juga kesenangan dan ketenangan, kecuali dengan cara mengenal Rabb, sesembahan, dan pencipta dirinya. Yaitu dengan mengenal nama-nama, sifat-sifat, serta perbuatan-perbuatan-Nya. Di samping itu semua, dia menjadikan Allah sebagai sesuatu yang lebih dicintainya di atas segala-galanya. Oleh sebab itulah, usaha yang dilakukannya –di alam dunia ini – adalah untuk melakukan perkara-perkara yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya yang mereka itu semua adalah makhluk-Nya.” (Syarh Aqidah Thahawiyah)

Maka berbahagialah orang yang diberikan taufik oleh Allah untuk mengenal Islam dan mencintainya, mengenal Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti ajarannya, serta menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan dan tempat bergantungnya hati baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

“Akan bisa merasakan lezatnya iman, yaitu orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, ridha Islam sebagai agama, dan Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagai rasul.” (HR. Muslim dari al-Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu).

Lezatnya keimanan, bukan diraih dengan mencicipi berbagai macam resep masakan di berbagai restoran dan rumah makan. Apalagi dengan melakukan perkara-perkara yang mengundang murka Allah yang sangat keras hukumannya. Hal ini menunjukkan kepada kita –wahai saudaraku yang mulia, semoga Allah menyelamatkan kita dari pedihnya neraka- bahwa kebahagiaan yang bersemayam di dalam dada dalam bentuk ridha kepada takdir-Nya, selalu merasa di bawah pengawasan-Nya, ingin menggapai cinta dan ridha-Nya, berharap dan takut kepada-Nya, merupakan kelezatan tiada tara yang menghiasi hati orang-orang yang mengenal keagungan Rabbnya. Kelezatan yang bisa diraih dengan taat kepada-Nya. Mereka itulah sesungguhnya orang yang benar-benar hidup di alam dunia ini, dengan cahaya iman dan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.

Adapun orang-orang ‘tampak berbahagia’ di alam dunia yang fana ini, sementara mereka adalah para pembangkang dan pembantah aturan-Nya, maka sesungguhnya kebahagiaan mereka adalah kesenangan yang semu dan akan berakhir dengan kesengsaraan yang tiada tara. Aduhai, betapa malang orang yang menjual kebahagiaan hakiki dan abadi dengan kesenangan yang semu dan sementara!
Mereka tersenyum, tertawa, dan penuh keceriaan, padahal mereka bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan kepada Rabbnya. Mereka tampakkan kepada manusia seolah-olah mereka bahagia dengan kemaksiatannya. Mereka gambarkan kepada manusia bahwa dengan meninggalkan perintah Allah dan rasul-Nya akan memberikan jalan pintas bagi siapa saja untuk meraih kepuasan dan kenikmatan yang luar biasa. Subhanallah, Maha suci Allah… alangkah buruk perbuatan mereka. Mereka rela menjual agamanya demi mendapatkan secuil kenikmatan dunia. Yang dunia itu di sisi Allah tidak lebih berharga daripada sehelai sayap nyamuk! Allahu akbar!

Maka ingatlah selalu wahai saudaraku –semoga Allah meneguhkan diriku dan dirimu di jalan-Nya- kehidupan kita di dunia ini akan berakhir dengan kematian dan bersambung di alam kubur dan hari kebangkitan. Akan ditanyakan kepada kita ‘siapakah sesembahanmu, apa agamamu, siapakah nabimu’. Apakah akan kita jawab nanti bahwa sesembahan kita adalah hawa nafsu, agama kita adalah kebebasan ala binatang, dan nabi kita adalah para wali-wali syaitan? Ya Allah, lindungilah kami dari pedihnya hukuman-Mu…
Lantas, pada saat ini ketika kaki kita masih menginjakkan bumi yang Allah ciptakan, paru-paru kita masih menghirup udara yang Allah ciptakan, tenggorokan kita masih terbasahi dengan air yang Allah alirkan, kulit kita masih merasakan hangatnya sinar matahari yang Allah ciptakan, mata kita masih bisa memandang berkat adanya cahaya yang Allah ciptakan, jantung kita pun masih berdegup mengalirkan darah yang Allah ciptakan, lidah kita masih bisa bergerak dan melontarkan kata-kata yang semuanya pasti Allah dengarkan, maka adakah di antara kita yang membusungkan dadanya di hadapan manusia dan berkata, “Ya Allah, aku tidak membutuhkan-Mu selama-lamanya!”?
Tentu saja, tidak ada orang sebodoh itu yang mampu melakukannya.

Namun, kenyataannya tingkah laku dan perbuatan kita menunjukkan betapa cueknya kita terhadap aturan dan bimbingan-Nya. Seolah-olah tidak ada gunanya Allah mengutus rasul-Nya, tidak ada gunanya Allah turunkan kitab-Nya, dan tidak ada gunanya Allah ciptakan surga dan neraka… Karena kita telah disibukkan dan tenggelam dalam kedurhakaan kepada-Nya…. Dan kita jadikan umur kita habis untuknya, cinta dan benci bukan karena-Nya, memberi dan tidak bukan karena-Nya, diam dan bergerak juga bukan karena-Nya. Bahkan, yang lebih jelek lagi… kita telah memandang keburukan dan dosa kita sebagai kebaikan dan jasa, na’udzu billahi min dzaalik. Afaman zuyyina lahu suu’u ‘amalihi fa ra’aahu hasana..

Maka ketahuilah saudaraku, bahwa kita –tanpa terkecuali- sangat membutuhkan-Nya, di mana saja dan kapan saja kita berada. Karena sesungguhnya langit dan bumi serta segala sesuatu yang di dalamnya adalah berada di bawah kekuasaan dan aturan-Nya. Apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apapun yang tidak Allah kehendaki tidak akan pernah terjadi. Karenanya taufik adalah di tangan-Nya, bukan di tangan kita… maka mintalah kepada-Nya semoga Allah mencurahkan taufik dan bimbingan-Nya kepada kita dan tidak menelantarkan kita dalam kebingungan dan dibiarkan hidup tanpa bantuan dari-Nya. Apakah engkau wahai raja, merasa tidak butuh kepada-Nya? Apakah engkau wahai orang kaya, merasa tidak butuh kepada-Nya? Apakah engkau wahai tentara, merasa tidak butuh kepada-Nya? Apakah engkau wahai orang yang rupawan dan berparas jelita merasa tidak butuh kepada-Nya? Apakah engkau wahai para da’i, merasa tidak butuh kepada-Nya?

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Senin, 10 Maret 2014

Ketika Aku Sudah Tua (catatan untuk anak)

Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula.
Mengertilah... bersabarlah sedikit terhadap aku.

Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu,
ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu.

Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau
dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku.

Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu
kali kuceritakan agar kau tidur.

Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku.
Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi?

Ketika aku tak paham sedikitpun tentang teknologi dan hal-hal baru, jangan
mengejekku.
Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap “mengapa” darimu.

Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk
memapahku.
Seperti aku memapahmu saat kau belajar waktu masih kecil.

Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk
mengingat.
Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau
disamping mendengarkan, aku sudah sangat puas.

Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka.
Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai
belajar menjalani kehidupan.

Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, sekarang
temani aku menjalankan sisa hidupku.

Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa
syukur, dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga untukmu.


Cuplikan talbis iblis

Apabila setan melihatmu dalam keadaan tidak taat kepada Allah Ta'ala
Maka ia telah menganggapmu mati..
Apabila ia melihatmu terus menerus melakukan ketaatan kepada Allah
Maka ia akan berusaha membuatmu bosan dan merintangimu..
Dan apabila
Ia melihatmu taat pada suatu kesempatan
Lantas bermaksiat pada kesempatan lainnya
Maka ia akan lebih bersemangat dalam menggodamu..

(Hasan Basri)

Tablis Iblis, Ibnu Qoyyim al Jauziyah.

Rencana Tuhan itu Indah

Ketika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang menyulam sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet. Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut :”Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara ibu menyelesaikan sulaman ini; nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas.”

Aku heran, mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu semrawut menurut pandanganku. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil :
“Anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan ibu. “
Waktu aku sudah duduk di pangkuan, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet. Kemudian ibu berkata :”Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, ibu hanya mengikutinya. Sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yang ibu lakukan”.

Sering selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada Allah ; “Allah, apa yang Engkau lakukan ?”. Ia menjawab :” Aku sedang menyulam kehidupanmu.” Dan aku membantah,” Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah ?”. Kemudian Allah menjawab, “Hambaku, kamu teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga menyelesaikan pekerjaanKu di bumi ini. Satu saat nanti Aku akan memanggilmu ke syurga dan mendudukkan kamu di pangkuanKu, dan kamu akan melihat rencanaKu yang indah dari sisiKu.” Subhanallah, Maha Suci Allah SWT.

http://cbd.lapenkop.coop/index.php?op=article_view&id_news=26

“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS An Nahl : 64).

“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”. (QS Al-baqarah 2:28)

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.012/th.01/Safar-Rabi’ul Awwal 1426H/2005M

10 Amal Penghapus Dosa

والمؤمن اذا فعل سيئة فان عقوبتها تندفع عنه بعشرة أسباب

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang mukmin melakukan kemaksiatan maka hukuman akibat maksiat tersebut bisa tercegah dengan sepuluh sebab.

أن يتوب فيتوب الله عليه فان التائب من الذنب كمن لاذنب له

Pertama, mukmin tersebut bertaubat sehingga Allah menerima taubatnya karena sesungguhnya orang yang bertaubat dari suatu dosa itu bagaikan orang yang tidak pernah melakukannya.

او يستغفر فيغفرا

Kedua, atau dia memohon ampun kepada Allah dengan lisannya sehingga Allah mengampuninya.

او يعمل حسنات تمحوها فان الحسنات يذهبن السيئات

Ketiga, atau dia melakukan amal kebajikan yang bisa menghapus kemaksiatannya karena sesungguhnya amal kebajikan itu menghapus dosa amal keburukan.

او يدعو له اخوانه المؤمنون ويستغفرون له حيا وميتا

Keempat, atau didoakan dan dimohonkan ampunan kepada Allah oleh saudaranya sesama orang beriman baik ketika dia masih hidup ataupun setelah meninggal dunia.

او يهدون له من ثواب أعمالهم ما ينفعه الله به

Kelima, atau mendapatkan pahala amal shalih yang dihadiahkan oleh orang-orang yang beriman kepadanya lalu Allah memberi manfaat kepadanya dengan sebab hadiah pahala amal shalih tersebut

او يشفع فيه نبيه محمد

Keenam, atau mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad.

او يبتليه الله تعالى فى الدينا بمصائب تكفر عنه

Ketujuh, atau Allah memberikan ujian kepadanya di dunia dengan berbagai macam musibah yang menjadi sebab terhapusnya dosanya.

او يبتليه فى البرزخ بالصعقة فيكفر بها عنه

Kedelapan, atau Allah mengujinya di alam Barzakh dengan siksaan kubur yang menjadi sebab terhapusnya dosa-dosanya.

او يبتليه فى عرصات القيامة من اهوالها بما يكفر عنه

Kesembilan, atau Allah mengujinya di padang Mahsyar dengan berbagai kengerian yang ada di sana yang hal ini menjadi sebab terhapusnya dosa-dosanya.

او يرحمه ارحم الراحمين

Kesepuluh, atau dia mendapatkan kasih sayang Allah.

فمن اخطأته هذه العشرة فلا يلومن الا نفسه

Siapa yang tidak mendapatkan satu pun dari sepuluh sebab pencegah hukuman atas dosa maka janganlah dia menyalahkan kecuali diri sendiri.

كما قال تعالى فيما يروى عنه رسول الله يا عبادى انما هى اعمالكم احصيها لكم ثم او فيكم اياها فمن وجد خيرا فليحمد الله ومن وجد غير ذلك فلا يلومن الا نفسه
مجموع الفتاوى – (10 / 46-45)

Sebagaimana firman Allah dalam hadits qudsi, “Wahai, hamba-hambaKu itulah amal perbuatan kalian yang kucatat untuk kalian lalu Kuberikan balasan. Siapa yang mendapatkan balasan kebaikan maka hendaknya dia memuji Allah. Sebaliknya siapa yang mendapatkan balasan yang lain maka janganlah dia menyalahkan kecuali dirinya sendiri” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah jilid 10 hal 45-46, cetakan standar).

Catatan:
Perkataan Ibnu Taimiyyah sebagiannya memerlukan uraian penjelasan yang lebih detail.
www.ustadzaris.com

Ada Apa Dengan Kita?

Saudaraku, saat mobil mewah dan mulus yang kita miliki tergores, goresannya bagai menyayat hati kita. Saat kita kehilangan handphone di tengah jalan, separuh tubuh ini seperti hilang bersama barang kebanggaan kita tersebut. Saat orang mengambil secara paksa uang kita, seolah terampas semua harapan.

Tetapi saudaraku, tak sedikitpun keresahan dalam hati saat kita melakukan perbuatan yang melanggar perintah Allah, kita masih merasa tenang meski terlalu sering melalaikan sholat, kita masih berdiri tegak dan sombong meski tak sedikitpun infak dan shodaqoh tersisihkan dari harta kita, meski disekeliling kita anak-anak yatim menangis menahan lapar.
Saudaraku, ada apa dengan kita ?

Saudaraku, kata-kata kotor dan dampratan seketika keluar tatkala sebuah mobil yang melaju kencang menciprati pakaian bersih kita. Enggan dan malu kita menggunakan pakaian yang terkena noda tinta meski setitik dan kita akan tanggalkan pakaian-pakaian yang robek, bolong dan menggantinya dengan yang baru.
Tetapi saudaraku, kita tak pernah ambil pusing dengan tumpukan dosa yang mengotori tubuh ini, kita tak pernah merasa malu berjalan meski wajah kita penuh noda kenistaan, kita pun tak pernah tahu bahwa titik-titik hitam terus menyerang hati ini hingga saatnya hati kita begitu pekat, dan kitapun tak pernah mencoba memperbaharuinya.
Saudaraku, ada apa dengan kita ?

Saudaraku, kita merasa tidak dihormati saat teguran dan sapaan kita tidak didengarkan, hati ini begitu sakit jika orang lain mengindahkan panggilan kita, terkadang kita kecewa saat orang lain tidak mengenali kita meski kita seorang pejabat, pengusahan, kepala pemerintahan, tokoh masyarakat bahkan orang terpandang, kita sangat khawatir kalau-kalau orang membenci kita, dan berat rasanya saat orang-orang meninggalkan kita.

Tetapi juga saudaraku, tidak jarang kita abaikan nasihat orang, begitu sering kita tak mempedulikan panggilan adzan, tak bergetar hati ini saat lantunan ayat-ayat Allah terdengar ditelinga. Dengan segala kealpaan dan kekhilafan, kita tak pernah takut jika Allah Yang Maha Menguasai segalanya membenci kita dan memalingkan wajah-Nya, kita pun tak pernah mau tahu, Baginda Rasulullah mengenali kita atau tidak di Padang Masyhar nanti. Kita juga, tak peduli melihat diri ini jauh dari kumpulan orang-orang sholeh dan beriman.
Saudaraku, tanyakan dalam hati kita masing-masing, ada apa dengan kita ?

Wallahu a’lam bishshowaab
(oleh : Aa Gym)

http://www.eramuslim.com/

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.010/th.01/DzulQoidah-Dzulhijjah 1425H/2005M

Mengenang Akhlak Nabi Muhamad SAW

Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya dan tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan padaku akhlak Muhammad !”. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.

Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini…” Ali menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)

Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa “Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu’minun[23]: 1-11.

Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.

Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, “ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini ?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.” Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita ? Nabi mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.

Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.

Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.

Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, “Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan.”

Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” “Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik.”
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.

Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan “Wahai Nabi”. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.
Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: “Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad sebagai pemimpin.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah Al-Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja,” Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud membantahmu.” Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya (al-hujurat 1-2)

Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia.” Umar juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi.

Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada Nabi, “Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”
Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” “Sudah.” kata Utbah. Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.

Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah !

Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya N abi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? “Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.” Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari kita atau tidak.

Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa barisa di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.” Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.

Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, “lakukanlah!” Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah.” Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.

Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na’udzu billah…

Nabi Muhammad ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari Allah…?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “benar ya Rasul !”.

Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”. Nabi meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah.”Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah… Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah”

[oleh : Nadirsyah Hosen - Dewan Asaatiz Pesantren Virtual]

http://media.isnet.org/islam/Etc/AkhlakNabi.html

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.010/th.01/DzulQoidah-Dzulhijjah 1425H/2005M

Minggu, 09 Maret 2014

Yakinlah, dan Pejamkan Mata

Iman adalah mata yang terbuka,
mendahului datangnya cahaya
tapi jika terlalu silau, pejamkan saja
lalu rasakan hangatnya keajaiban

Saya tertakjub membaca kisah ini; bahwa Sang Nabi hari itu berdoa.

Di padang Badr yang tandus dan kering, semak durinya yang memerah dan langitnya yang cerah, sesaat kesunyian mendesing. Dua pasukan telah berhadapan. Tak imbang memang. Yang pelik, sebagian mereka terikat oleh darah, namun terpisah oleh ‘aqidah. Dan mereka tahu inilah hari furqan; hari terpisahnya kebenaran dan kebathilan. Ini hari penentuan akankah keberwujudan mereka berlanjut.

Doa itulah yang mencenungkan saya. “Ya Allah”, lirihnya dengan mata kaca, “Jika Kau biarkan pasukan ini binasa, Kau takkan disembah lagi di bumi! Ya Allah, kecuali jika Kau memang menghendaki untuk tak lagi disembah di bumi!” Gemetar bahu itu oleh isaknya, dan selendang di pundaknya pun luruh seiring gigil yang menyesakkan.

Andai boleh lancang, saya menyebutnya doa yang mengancam. Dan Abu Bakr, lelaki dengan iman tanpa retak itu punya kalimat yang jauh lebih santun untuk menggambarkan perasaan saya. “Sudahlah Ya Rasulallah”, bisiknya sambil mengalungkan kembali selendang Sang Nabi, “Demi Allah, Dia takkan pernah mengingkari janjiNya padamu!”

Doa itu telah menerbitkan sejuta tanya di hati saya. Ringkasnya; mengapa begitu bunyinya? Tetapi kemudian, saya membaca lagi dengan sama takjubnya pinta Ibrahim, kekasih Allah itu. “Tunjukkan padaku duhai Rabbi, bagaimana Kau hidupkan yang mati!”, begitu katanya. Ah ya.. Saya menangkap getar yang sama. Saya menangkap nada yang serupa. Itu iman. Itu iman yang gelisah.

Entah mengapa, para peyakin sejati justru selalu menyisakan ruang di hatinya untuk bertanya, atau menagih. Mungkin saja itu bagian dari sisi manusiawi mereka. Atau mungkin justru, itu untuk membedakan iman mereka yang suci dari hawa nafsu yang dicarikan pembenaran. Untuk membedakan keyakinan mereka yang menghunjam dari kepercayaan yang bulat namun tanpa pijakan.

Kita tahu, di Badr hari itu, Abu Jahl juga berdoa. Dengan kuda perkasanya, dengan mata menantangnya, dengan suara lantangnya, dan telunjuk yang mengacung ke langit dia berseru, “Ya Allah, jika yang dibawa Muhammad memang benar dari sisiMu, hujani saja kami dari langit dengan batu!” Berbeda dari Sang Nabi, kalimat doanya begitu bulat, utuh, dan pejal. Tak menyisakan sedikitpun ruang untuk bertanya. Dan dia lebih rela binasa daripada mengakui bahwa kebenaran ada di pihak lawan.

Itukah keyakinan yang sempurna? Bukan. Itu justru kenaïfan. Naif sekali.

Mari bedakan kedua hal ini. Yakin dan naïf. Bahwa dua manusia yang dijamin sebagai teladan terbaik oleh Al Quran memiliki keyakinan yang menghunjam dalam hati, dan keyakinan itu justru sangat manusiawi. Sementara kenaifan telah diajarkan Iblis; untuk menilai sesuatu dari asal penciptaan lalu penilaian itu menghalangi ketaatan pada PenciptaNya. Atau seperti Abu Jahl; rela binasa daripada mengakui kebenaran tak di pihaknya. Atau seperti Khawarij yang diperangi ‘Ali; selalu bicara dengan ayat-ayat suci, tapi lisan dan tangan menyakiti dan menganiaya muslim lain tanpa henti. Khawarij yang selalu berteriak, “Hukum itu hanya milik Allah!”, sekedar untuk menghalangi kaum muslimin berdamai lagi dan mengupayakan kemashlahatan yang lebih besar. Mencita-citakan tegaknya Din, memisahkan diri di Harura dari kumpulan besar muslimin, dan merasa bahwa segala masalah akan selesai dengan kalimat-kalimat. Itu naïf.

Dan beginilah kehidupan para peyakin sejati; tak hanya satu saat dalam kehidupannya, Ibrahim sebagai ayah dan suami, Rasul dan Nabi, harus mengalami pertarungan batin yang sengit. Saat ia diminta meninggalkan isteri dan anaknya berulang kali dia ditanya Hajar mengapa. Dan dia hanya terdiam, menghela nafas panjang, sembari memejamkan mata. Juga ketika dia harus menyembelih Isma’il. Siapa yang bisa meredam kemanusiaannya, kebapakannya, juga rasa sayang dan cintanya pada sesibir tulang yang dinanti dengan berpuluh tahun menghitung hari.

Dan dia memejamkan mata. Lagi-lagi memejamkan mata.

Yang dialami para peyakin sejati agaknya adalah sebuah keterhijaban akan masa depan. Mereka tak tahu apa sesudah itu. Yang mereka tahu saat ini bahwa ada perintah Ilahi untuk begini. Dan iman mereka selalu mengiang-ngiangkan satu kaidah suci, “Jika ini perintah Ilahi, Dia takkan pernah menyia-nyiakan iman dan amal kami.” Lalu mereka bertindak. Mereka padukan tekad untuk taat dengan rasa hati yang kadang masih berat. Mereka satukan keberanian melangkah dengan gelora jiwa yang bertanya-tanya.

Perpaduan itu membuat mereka memejamkan mata. Ya, memejamkan mata.

Begitulah para peyakin sejati. Bagi mereka, hikmah hakiki tak selalu muncul di awal pagi. Mereka harus bersikap di tengah keterhijaban akan masa depan. Cahaya itu belum datang, atau justru terlalu menyilaukan. Tapi mereka harus mengerjakan perintahNya. Seperti Nuh harus membuat kapal, seperti Ibrahim harus menyembelih Isma’il, seperti Musa harus menghadapi Fir’aun dengan lisan gagap dan dosa membunuh, seperti Muhammad dan para sahabatnya harus mengayunkan pedang-pedang mereka pada kerabat yang terikat darah namun terpisah oleh ‘aqidah.

Para pengemban da’wah, jika ada perintahNya yang berat bagi kita, mari pejamkan mata untuk menyempurnakan keterhijaban kita. Lalu kerjakan. Mengerja sambil memejam mata adalah tanda bahwa kita menyerah pasrah pada tanganNya yang telah menulis takdir kita. Tangan yang menuliskan perintah sekaligus mengatur segalanya jadi indah. Tangan yang menuliskan musibah dan kesulitan sebagai sisipan bagi nikmat dan kemudahan. Tangan yang mencipta kita, dan padaNya jua kita akan pulang..

sepenuh cinta,

Salim A. Fillah

Sabtu, 08 Maret 2014

Bercermin Diri

Tatkala kudatangi sebuah cermin
Tampak sesosok yang sangat lama kukenal dan sangat sering kulihat
Namun aneh, sesungguhnya aku belum mengenal siapa yang kulihat

Tatkala kutatap wajah, hatiku bertanya, Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya dan bersinar indah di surga sana?
Ataukah wajah ini yang akan hangus legam di neraka jahannam

Tatkala kutatap mata, nanar hatiku bertanya,
Mata inikah yang akan menatap penuh kelezatan dan kerinduan …
Menatap Allah, menatap Rosulullah, menatap penuh kelezatan dan kerinduan …
Menatap Allah, menatap Rosulullah, menatap kekasih-kekasih Allah kelak?
Ataukah mata ini yang terbeliak, melotot, menganga, terburai menatap neraka jahannam …
Akankah mata penuh maksiat ini akan menyelamatkan?
Wahai mata, apa gerangan yang kau tatap selama ini?

Tatkala kutatap mulut, apakah mulut ini yang kelak akan mendesah penuh kerinduan …
Mengucap laa ilaaha ilallah saat malaikat maut datang menjemput?
Ataukan menjadi mulut menganga dengan lidah menjulur, dengan lengking jeritan pilu yang akan mencopot sendi-sendi setiap pendengar.
Ataukah mulut ini menjadi pemakan buah-buah zaqum jahannam … yang getir penghangus, penghancur setiap usus.
Apakah gerangan yang engkau ucapkan wahai mulut yang malang?
Berapa banyak dusta yang engkau ucapkan?
Berapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu yang megiris tajam ?
Berapa banyak kata-kata manis semanis madu yang palsu engkau ucapkan untuk menipu?
Betapa jarang engkau jujur.
Betapa langkanya engkau syahdu memohon agar Tuhan mengampunimu

Tatkala kutatap tubuhku,
Apakah tubuh ini kelak yang akan penuh cahaya …
Bersinar, bersukacita, bercengkrama di surga?
Atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur, mendidih di dalam lahar membara jahannam, terpasung tanpa ampun, derita yang tak pernah berakhir.
Wahai tubuh, berapa banyak orang-orang yang engkau zalimi dengan tubuhmu?
Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah yang engkau tindas dengan kekuatanmu?
Berapa banyak perindu pertolongan yang engkau acuhkan tanpa peduli padahal engkau mampu?
Berapa banyak hak-hak yang engkau rampas?

Ketika tatkala kutatap hai tubuh,
Seperti apa gerangan isi hatimu?
Apakah isi hatimu sebagus kata-katamu?
Atau sekotor daki-daki yang melekat di tubuhmu?
Apakah hatimu segagah ototmu?
Atau selemah daun-daun yang mudah rontok?
Apakah hatimu seindah penampilanmu?
Ataukah sebusuk kotoran-kotoranmu?

Betapa beda …
Betapa beda …
Apa yang tampak di cermin dengan apa yang tersembunyi …
Aku telah tertipu, aku tertipu oleh topeng
Betapa yang kulihat selama ini hanyalah topeng, hanyalah topeng belaka
Betapa pujian yang terhambur hanyalah topeng …
Sedangkan aku …
Hanyalah seonggok sampah busuk yang terbungkus
Aku tertipu, aku malu ya Allah …

Allah …
Selamatkan aku …
Amiin … ya Robbal ‘alamin …

[Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar]
Note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.006/th.01/Rajab 1425H/2004M

Adakah Amal Tetap Bermakna?

Berhati-hatilah bagi orang-orang yang ibadahnya temporal, karena bisa jadi perbuatan tersebut merupakan tanda-tanda keikhlasannya belum sempurna. Karena aktivitas ibadah yang dilakukan secara temporal tiada lain, ukurannya adalah urusan duniawi. Ia hanya akan dilakukan kalau sedang butuh, sedang dilanda musibah, atau sedang disempitkan oleh ujian dan kesusahan, jadi meningkatlah amal ibadahnya. 

Tidak demikian halnya ketika pertolongan Allah datang, kemudahan menghampiri, kesenangan berdatangan, justru kemampuan bersenang-senangnya bersama Allah malah menghilang.

Bagi yang amalnya temporal, ketika menjelang pernikahan saja tiba-tiba saja ibadahnya meningkat, shalat wajib tepat waktu, tahajud nampak khusyu tapi anehnya ketika sudah menikah, jangankan tahajud, shalat subuh pun terlambat. Ini perbuatan yang memalukan. Sudah diberi kesenangan, justru malah melalaikan perintah-Nya. Harusnya sesudah menikah berusaha lebih gigih lagi dalam ber-taqarub kepada Allah sebagai bentuk ingkapan rasa syukur. 

Ketika berwudhu, misalnya ternyata disamping ada seorang ulama yang cukup terkenal dan disegani, wudhu kita pun secara sadar atau tidak tiba-tiba dibagus-baguskan. Lain lagi ketika tidak ada siapa pun yang melihat, wudhu kitapun kembali dilakukan dengan seadanya dan lebih dipercepat. Atau ketika menjadi imam shalat, bacaan Qur’an kita kadangkala digetar-getarkan atau disedih-sedihkan agar orang lain ikut sedih. Tapi sebaliknya ketika shalat sendiri, shalat kita menjadi kilat, padat dan cepat. Kalau shalat sendirian dia begitu gesit, tapi kalau ada orang lain jadi kelihatan bagus. 

Hati-hatilah bisa jadi ada sesuatu dibalik ketidak-ikhlasannya ibadah-ibadah kita ini. Karenanya kalau melihat amal-amal yang kita lakukan jadi melemah kualitas dan kuantitasnya ketika diberi kesenangan, maka itulah tanda bahwa kita kurang ikhlas dalam beramal.

Hal ini berbeda dengan hamba-hamba-Nya yang telah menggapai maqam ikhlas, maqam dimana seorang hamba mampu beribadah secara istiqomah dan terus-menerus berkesinambungan. Ketika diberi kesusahan, dia akan segera saja bersimpuh sujud merindukan pertolongan Allah. Sedangkan ketika diberi kelapangan dan kesenangan yang lebih lagi, justru dia semakin bersimpuh dan bersyukur lagi atas nikmat-Nya ini. 

Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas beramalnya dalam kondisi ada atau tidak ada orang yang memperhatikan adalah sama saja. Berbeda dengan orang yang kurang ikhlas, ibadahnya justru akan dilakukan lebih bagus ketika ada orang lain memperhatikannya, apalagi bila orang tersebut dihormati dan disegani.
Sungguh suatu keberuntungan yang sangat besar bagi orang-orang yang ikhlas ini. Betapa tidak ? Orang-orang ikhlas akan senantiasa dianugerahi pahala, bahkan bagi orang-orang ikhlas, amal-amal mubah pun pahalanya akan berubah jadi pahala amalan sunah atau wajib. Hal ini akibat niatnya yang bagus. 

Berkaitan dengan niat ini seorang ulama ahli hikmah berkata, “Terkadang amal yang sedikit menjadi ba nyak oleh sebab niat, dan sebaliknya kadangkala amal yang banyak menjadi sedikit hasilnya, juga karena niat !”.
Pantaslah bila Yahya bin Abi Katsir menganjurkan kepada kita untuk senantiasa mempelajari dan mengetahui akan pentingnya niat ini dalam beramal, dia berkata, “Pelajarilah niat, karena ia lebih menyampaikan kepada tujuan ketimbang amal”.


Rasulullah SAW sendiri menasihatkan kepada kita, “Bahwa sesungguhnya amal itu tergantung kepada niatnya, dan bagi seseorang adalah apa yang ia niatkan. Maka, barangsiapa yang niat hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu adalah kepada apa yang ditujunya.” (H.R Bukhari)

Maka, bagi orang-orang yang ikhlas, dia tidak akan melakukan sesuatu kecuali ia kemas niatnya lurus kepada Allah saja. Kalau hendak duduk di kursi diucapkannya, “Bismillahirrahmanirrahiim, ya Allah semoga aktivitas duduk ini menjadi amal kebaikan”. Lisannya yang bening senantiasa memuji Allah atas nikmatnya berupa karunia bisa duduk sehingga ia dapat beristirahat menghilangkan kepenatan. Jadilah aktivitas duduk ini sarana taqarrub kepada Allah. 

Karena banyak pula orang yang melakukan aktivitas duduk, namun tidak mendapatkan pertambahan nilai apapun, selain menaruh (maaf !) pantat dikursi. Tidak usah heran bila suatu saat Allah memberi peringatan dengan sakit ambeien atau bisul, sekedar kenang-kenangan bahwa aktivitas duduk adalah anugerah nikmat yang Allah ‘karuniakan’ kepada kita.


Begitupun ketika makan, sempurnakan niat dalam hati, sebab sudah seharusnya di lubuk hati yang paling dalam kita meyakini bahwa Allah-lah yang memberi makan tiap hari, tiada satu hari pun yang luput dari limpahan curahan nikmatnya. Kalau membeli sesuatu, diperhitungkan juga bahwa apa yang dibeli diniatkan karena Allah. Ketika membeli kendaraan, niatkan karena Allah. Karena menurut Rasulullah SAW, kendaraan itu ada 3 jenis, 1) Kendaraan untuk Alah 2) Kendaraan untuk syetan 3) Kendaraan untuk dirinya sendiri. Apa cirinya ? Kalau niatnya benar, dipakai untuk maslahat ibadah, maslahat agama, maka inilah kendaraan untuk Allah. Tapi kalau sekedar untuk pamer, riya, ujub maka inilah kendaraan untuk syetan. Sedangkan kendaraan untuk dirinya sendiri, misalkan kuda dipelihara, dikembang-biakan dipakai tanpa niat, maka inilah kendaraan untuk dirinya sendiri. 

Pastikan bahwa jikalau kita membeli kendaraan, niat kita tiada lain hanyalah karena Allah. Karenanya bermohon saja kepada Allah, “Ya Allah saya butuh kendaraan yang layak, yang bisa meringankan untuk menuntut ilmu, yang bisa meringankan untuk berbuat amal, yang bisa meringankan dalam menjaga amanah”. Subhanallah bagi orang yang telah meniatkan seperti ini, maka bensinnya, tempat duduknya, shock breaker-nya dan semuanya dari kendaraan itu ada dalam timbangan kebaikan, insya Allah. sebaliknya jika digunakan untuk maksiat, maka kita jugalah yang akan menanggung balasan dosanya.

Kedahsyatan lain dari seorang hamba yang ikhlas adalah akan memperoleh pahala amal, walaupun sebenarnya belum menyempurnakan amalnya, bahkan belum mengamalkannya. Inilah istimewanya amalan orang yang ikhlas. Suatu saat, misalkan, hati sudah bulat meniatkan mau bangun malam untuk tahajud, “Ya Allah saya ingin tahajud jam 03.30 ya Allah”. Weker pun diputar, istri diberitahu. Berdoa dan tidurlah ia dengan tekad bulat akan bangun tahajud. Sayangnya ketika terbangun ternyata sudah azan subuh. Bagi hamba yang ikhlas, justru dia akan gembira bercampur sedih. Sedih karena tidak kebagian shalat tahajud dan gembira karena masih kebagian pahalanya. Bagi yang sudah berniat untuk tahajud dan tidak dibangunkan oleh Allah, maka kalau ia sudah bertekad, Allah pasti akan memberikan pahalanya. 

Mungkin Allah tahu, hari-hari yang kita lalui akan menguras tenaga. Allah Mahatahu apa yang akan terjadi, Allah juga Mahatahu bahwa kita mungkin telah defisit energi karena kesibukan kita terlalu banyak. Hanya Allah-lah yang menidurkan kita dengan pulas.

Sungguh apapun amal yang dilakukan seorang hamba yang ikhlas akan tetap bermakna, akan tetap bernilai, dan akan tetap mendapatkan balasan pahala yang setimpal. Subhanallah.


(Oleh : K.H. Abdullah Gymnastiar – Ketua Ponpes Daarut-Tauhiid – Bandung)

http://abuharits.patra.net.id/id96.htm

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.005/th.Jumada Al Thani 1425H/2004M

Rabu, 05 Maret 2014

Berlindunglah pada ALLAH SWT dari Empat Hal

Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.

Mengenal kebaikan lalu mengamalkannya dan mengetahui kejelekan kemudian waspada darinya adalah jalan yang terang menuju keridhaan Allah Subhanahu wata’ala. Akan tetapi, sebagai makhluk yang lemah tentu kita sangat membutuhkan bantuan dari Allah Subhanahu wata’ala, Dzat Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Tanpa bimbingan dari Allah Subhanahu wata’ala niscaya kita tidak tahu hal-hal yang bermanfaat untuk kemudian diambilnya serta tidak akan tahu kejelekan lalu menghindar darinya. Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berlindung kepada Allah Subhanahu wata’ala dari empat hal yang berdampak sangat jelek baik dalam kehidupan di dunia ini, lebih-lebih di akhirat nanti. Empat kejelekan itu seperti tersebut dalam doa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam,

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ يُسْتَجَابُ لَهَا

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, jiwa yang tidak merasa kenyang (puas), dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR . Muslim no. 2722 dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu)

Dalam hadits ini ada empat kejelekan yang harus kita waspadai.

1. Ilmu yang Tidak Bermanfaat

Ketahuilah, yang diinginkan dari ilmu adalah untuk diyakini dan diamalkan. Apabila ilmu sebatas kliping pengetahuan yang menumpuk di benak seseorang dan tidak keluar sebagai amal nyata dalam kehidupan sehari-hari, ini jenis ilmu yang membawa petaka bagi pemiliknya. Kelak pada hari kiamat kaki seorang hamba tidak akan bergeser dari sisi Rabbnya sampai ditanyai tentang beberapa perkara, di antaranya tentang ilmunya, apa yang telah ia amalkan. Mengamalkan ilmu juga menjadi perkara terbaik untuk menjaga ilmu tersebut agar mengakar pada kalbu.

Ada beberapa hal yang termasuk ilmu yang tidak bermanfaat, di antaranya:

a. Ilmu yang dicari untuk mendebati para ulama dan untuk menyombongkan diri di hadapan orang-orang bodoh. Orang yang seperti ini tergolong orang yang bodoh karena dia tidak tahu tujuan menimba ilmu ialah untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala di atas petunjuk.

b. Menimba ilmu untuk mendapatkan kegemerlapan duniawi dan mencari popularitas. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَتَعَلَّمَهُ إِ لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa mempelajari ilmu yang (seharusnya) dicari dengannya wajah Allah Subhanahu wata’ala, (namun) ia tidaklah mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta benda dunia, ia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat.” (HR . Abu Dawud dan dinyatakan sahih sanadnya oleh an-Nawawi)

c. Ilmu yang tidak ditebarkan kepada orang lain, apalagi sampai menyembunyikan ilmu dari orang yang sangat membutuhkan. Apabila ia menebarkannya lalu diamalkan oleh orang lain, niscaya akan menjadi amal jariyah baginya. Pahalanya terus mengalir kepadanya sekalipun ia telah mati.

d. Ilmu yang menjurus kepada kemaksiatan dan kekufuran seperti ilmu sihir. Ilmu seperti ini haram untuk dipelajari dan dipraktikkan.

2. Hati yang Tidak Khusyuk

Ini adalah jenis hati yang tidak tenteram dengan mengingat Allah Subhanahu wata’ala. Padahal hati hanyalah dicipta untuk tunduk kepada yang menciptakannya (Allah Subhanahu wata’ala) sehingga dada menjadi lapang karenanya dan siap diberi cahaya petunjuk. Jika kondisi hati tidak seperti itu, berarti ia adalah hati yang kaku dan gersang. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wata’ala darinya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

“Kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22)

Kekhusyukan hati sumbernya adalah pengetahuan yang mendalam tentang Allah Subhanahu wata’ala dan kebesaran-Nya. Oleh karena itu, ada yang khusyuk hatinya karena mengetahui bahwa Allah Subhanahu wata’ala dekat dengan hamba-Nya dan mengetahui gerak-geriknya sehingga ia malu jika Allah Subhanahu wata’ala melihatnya dalamipenentangan terhadap aturan-Nya. Ada juga yang khusyuk karena memandang dahsyatnya hukuman Allah Subhanahu wata’ala kepada orang yang bermaksiat kepada-Nya. Ada pula yang khusyuk karena melihat kepada sempurnanya kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala dan besarnya anugerah dari- Nya yang tidak bisa dihitung. Allah Subhanahu wata’ala telah memuji orang-orang yang khusyuk dan mempersiapkan surga bagi mereka. Ketika meyebutkan para lelaki dan perempuan yang khusyuk, Allah Subhanahu wata’ala menyatakan,

أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

“Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Ahzab: 35)

Seorang yang khusyuk saat melaksanakan ibadah, niscaya akan merasakan lezatnya berbisik-bisik dan memohon kepada Sang Khalik. Hatinya menjadi damai dan selalu tenteram mengingat-Nya. Khusyuk dalam shalat menjadi ruh shalat tersebut, dan shalat seorang hamba dinilai dengannya. Ada beberapa hal yang bisa membantu hamba untuk mewujudkan kekhusyukan dalam shalat, di antaranya:

a. Mendatangi shalat dengan tenang dan tidak terburu-buru meskipun iqamat telah dikumandangkan dan shalat sebentar lagi akan ditegakkan.

b. Mendahulukan menyantap hidangan apabila hidangan makanan telah disuguhkan. Hal ini bukan berarti mendahulukan hak diri sendiri di atas hak Allah Subhanahu wata’ala. Sebab, kekhusyukan adalah hak Allah Subhanahu wata’ala yang akan terwujud dengan segera menyantap hidangan makanan yang telah disuguhkan. Nabi n bersabda,“Apabila makan malam telah dihidangkan, mulailah makan malam sebelum shalat maghrib.” (HR . al-Bukhari dan Muslim)

c. Berusaha memahami apa yang dibaca dalam shalatnya. Dahulu apabila melewati ayat yang menyebutkan azab, Rasulullah n berlindung kepada AllahSubhanahu wata’ala darinya; apabila melewati ayat yang menyebutkan rahmat Allah Subhanahu wata’ala, beliau memohon rahmat; dan apabila melewati ayat yang mengandung bentuk penyucian kepada Allah Subhanahu wata’ala, beliau pun bertasbih.” (HR . Ahmad, Muslim dan Sunan yang empat dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu)

d. Tidak menahan buang air besar dan buang air kecil.

e. Menyingkirkan segala yang bisa mengganggu kekhusyukan dalam shalat.

f. Pandangan diarahkan ke tempat sujud dan tidak menoleh, apalagi mengangkat pandangan ke atas. Sebab, dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menundukkan kepala dan mengarahkan pandangannya ke tanah ketika shalat.

Demikian di antara kiat-kiat untuk khusyuk di dalam shalat. Apabila seorang menjalankan shalat dengan khusyuk, niscaya shalat yang dilakukannya akan bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Sesuai dengan tenteramnya hati hamba dengan Allah Subhanahu wata’ala, setingkat itulah manusia sejuk memandangnya. Khusyuk dalam shalat menjadi sebab diampuninya dosa, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَا مِنِ امْرِئٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوْبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوْءَهَا وَخُشُوْعَهَا وَرُكُوْعَهَا إِ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوْبِ مَا لَمْ يُؤْتَ كَبِيْرَةٌ

“Tiada seseorang yang telah sampai kepadanya (waktu) shalat wajib lalu dia membaguskan wudhunya, khusyuk, dan rukuknya, kecuali shalat itu akan menghapus dosa yang dilakukan sebelum shalat itu, selama dosa besar tidak dilakukan.” (HR . Muslim)

3. Jiwa yang Tidak Pernah Puas

Tenteram dan puasnya jiwa adalah kebahagiaan hidup yang tak ternilai. Namun, sayangnya tidak semua orang mendapatkan kepuasan jiwa dan kehidupan yang bahagia. Harta yang melimpah ruah\ dan jabatan yang terpandang terkadang tidak mampu mengantarkan seorang kepada kebahagiaan hidup. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan hakikat kaya dan tenteramnya jiwa dalam sabdanya,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kekayaan bukanlah karena banyaknya harta, melainkan kayanya jiwa.” (Muttafaqun ‘alaih)

Andaikata seorang ingin menuruti nafsu serakahnya terhadap dunia, niscaya habis umurnya untuk sesuatu yang siasia. Kematian akan datang kepadanya padahal keinginan nafsunya belum tercapai seluruhnya. Ketidakpuasan terhadap pemberian Allah Subhanahu wata’ala akan melahirkan beberapa problem hidup yang berdampak serius bagi kelangsungan hidup di dunia ini. Seorang yang rakus terhadap harta akan berusaha mengumpulkan harta tanpa peduli dari jalan apa ia mendapatkannya. Dia akan berani menabrak norma-norma agama dan melepaskan adab-adab kesopanan di tengah-tengah masyarakat. Dia juga akan bakhil terhadap harta yang telah didapat sehingga tidak mau berderma dan menyantuni orang yang papa dan menderita. Orang yang seperti ini dibenci oleh Allah Subhanahu wata’ala dan tidak disukai oleh manusia. Di antara bentuk ketidakpuasan jiwa adalah tidak ada kepuasan dalam hal makan, minum, dan berpakaian. Untuk mengejar kepuasan semu tersebut, terkadang seorang melampaui batas menggunakannya. Ia berusaha memenuhi kepuasan jiwanya meski harus melanggar aturan agama dan menyelisihi akal sehat. Sikap menerima pemberian Allah Subhanahu wata’ala dan merasa cukup dengan anugerahnya adalah ladang kesuksesan. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ

“Telah sukses orang yang masuk Islam dan diberi rezeki yang cukup serta merasa puas dengan pemberian Allah l.” (HR . Muslim dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma)

Agar seorang bisa merasa puas dengan pemberian Allah Subhanahu wata’ala, ada beberapa faktor yang melandasinya.

a. Melihat dari sisi takdir. Tatkala seorang telah berusaha menggapai cita-cita dengan sepenuh semangat, dibarengi tawakal, kemudian mendapatkan hasil tidak seperti yang dicita-citakan, hendaklah ia yakin bahwa itu adalah suratan takdir sehingga dia ridha dengan keputusan Allah Subhanahu wata’ala. Dia hendaknya berbaik sangka kepada Allah Subhanahu wata’ala bahwa itulah yang terbaik baginya. Sebab, bisa jadi jika Allah Subhanahu wata’ala melimpahkan rezeki kepadanya sesuai dengan cita-citanya, dia akan lupa kepada Allah Subhanahu wata’ala, sombong, dan menggunakan nikmat itu untuk bermaksiat.

b. Melihat besarnya tanggung jawab. Besarnya nikmat menuntut banyaknya rasa syukur. Jika diberi rezeki melimpah, belum tentu dia bisa mengungkapkan rasa syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala sehingga nikmat itu justru menjadi beban baginya.

c. Melihat orang-orang yang di bawahnya dalam hal harta dan yang semisalnya.

Dengan demikian, dia akan mensyukuri pemberian Allah. Sebab, ternyata masih banyak orang-orang yang lebih mengenaskan kondisinya dibandingkan dengan dirinya. Nabi n bersabda, “Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian dan jangan melihat yang lebih tinggi dari kalian. Sebab, hal itu lebih pantas untuk kalian agar tidak meremehkan nikmat Allah Subhanahu wata’ala yang diberikan kepada kalian.” (Muttafaqun ‘alaih)

Maksud “melihat yang lebih rendah” adalah dari sisi harta dan kondisi keduniaan.

4. Doa yang Tidak Didengar dan Tidak Dikabulkan oleh Allah Subhanahu wata’ala

Ini tentu suatu kerugian besar. Sebab, hamba tidaklah mampu mendatangkan maslahat bagi dirinya tanpa bantuan Allah Subhanahu wata’ala. Bagaimana tidak merugi, padahal Allah Subhanahu wata’ala telah menjanjikan akan mengabulkan permohonan hamba-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Ghafir: 60)

Tidak dikabulkannya doa tidak berarti Allah l ingkar janji, tetapi hamba itu sendiri yang belum memenuhi persyaratan diterimanya doa. Ibrahim bin Adham rahimahullah pernah ditanya tentang ayat di atas, bahwa seseorang telah berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala tetapi belum dikabulkan. Beliau menjawab, “Engkau kenal Allah Subhanahu wata’ala, tetapi tidak mau menaati-Nya. Engkau membaca al-Qur’an, tetapi tidak mengamalkannya. Engkau mengetahui setan, tetapi justru mencocokinya. Engkau mengaku cinta kepada Rasul, namun meninggalkan sunnahnya. Kau mengaku cinta kepada surga, tetapi tidak beramal untuknya. Kau mengaku takut neraka, tetapi tidak berhenti dari dosa. Kau mengatakan bahwa kematian itu benar adanya, tetapi tidak bersiap-siap menghadapinya. Engkau sibuk dengan kesalahan orang dan tidak melihat kesalahan sendiri. Engkau memakan rezeki Allah Subhanahu wata’ala, tetapi tidak bersyukur. Engkau pun mengubur orang yang mati, tetapi tidak mau mengambil pelajaran.” (al-Khusyu’ fi ash-Shalah hlm. 39 karya Ibnu Rajab rahimahullah)

Tiada yang lebih bermanfaat bagi kita dari bermuhasabah (introspeksi diri). Barangkali kita belum tulus ketika memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala. Bisa jadi, kita memohon dengan hati yang lalai dan bermain-main, jauh dari keseriusan, atau tergesa-gesa ingin dikabulkan. Karena tidak kunjung dikabulkan, kemudian kita meninggalkan doa. Hal-hal di atas adalah faktor utama tertundanya jawaban atas permohonan kita. Jangan lupa pula, makanan, minuman, dan pakaian yang haram juga menjadi faktor utama ditolaknya doa. Oleh karena itu, koreksilah diri kita dan ajaklah untuk memenuhi persyaratan doa. Semoga jawaban dari Allah Subhanahu wata’ala atas doa kita menjadi kenyataan. Jangan pernah kecewa ketika berdoa dan tidak kunjung dikabulkan. Sebab, doa itu sendiri adalah ibadah yang tentu ada nilainya di sisi Allah Subhanahu wata’ala. Bisa jadi, karena Allah Subhanahu wata’ala suka dengan rintihan hamba kepada-Nya. Seandainya segera dikabulkan doanya, bisa jadi dia tidak lagi merintih di hadapan Rabbnya. Akhirulkalam, semoga Allah Subhanahu wata’ala senantiasa membimbing kita kepada hal yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat kita, dan selalu menjauhkan kita dari segala kejelekan.

Artikel asli dapat dilihat di
http://asysyariah.com/akhlak-berlindung-kepada-allah-subhanahuwataala-dari-empat-hal/

Sabtu, 01 Maret 2014

AWAS! ALlah senantiasa perhatikan track record kita!

Track Record atau dalam bahasa Indonesianya rekam jejak perlu kita perhatikan. Kalau sudah baik, lanjutkan. Kalau belum, perbaiki. Ada pelajaran yang menarik dari kisah 2 orang yang sama-sama terjebak di lautan, yang satu selamat, yang satu celaka, karena track record mereka.

Kisah pertama adalah seorang yang dilemparkan ke lautan karena hasil undian. Muatan kapal yang dianikinya terlalu penuh dan seisi kapal sepakat untuk mengundi siapa yang harus keluar dari kapal alias diterjunkan ke laut. Tiga kali undian, semuanya menunjuk hasil yang sama, Nabi Yunus alaihissalam. Akhirnya beliau dilemparkan ke lautan dan ditelan oleh seekor ikan yang sangat besar. Kala terjepit itu, Yunus berdoa dan Allah mengabulkannya. seraya berfirman:

فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“Seandainya dia tidak termasuk orang-orang yang mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari kiamat” (Qs as Shaffaat: 143-144)
Allah selamatkan Yunus ‘alaihissalam karena track record-nya, “kaana minal musabbihiin” (dulu dia termasuk orang yang sering mengingat Allah).

Kisah kedua adalah kisah seorang raja yang sedang mengejar musuhnya. Raja itu bernama Firaun dan musuhnya adalah Nabi Musa ‘alaihi salam. Pengejaran sampai ke tepi laut, Allah izinkan Musa dan kaumnya melewati lautan dengan terbelahnya lautan, Firaun tetap mengejar. Musa sudah sampai ujung lautan, Firaun dan pasukannya masih di tengah. Allah tutup jalan lautan, tenggelamlah Firaun dan pasukannya yang masih ada di tengah. Di tengah kegalauannya dan ketika nyawanya hampir melayang, Firaun baru ikrarkan keimanan kepada Allah dan mengaku sebagai muslim, tapi Allah tolak seraya berfirman:

آلْآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ

“Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan” (Qs Yunus: 91)
Allah enggan selamatkan Firaun karena track record-nya, “Qad ‘ashaita min qoblu wa kunta minal mufsidiin” (Dulu kamu orang yang durhaka dan bikin kacau di sana sini).

Hikmah ini bisa dibaca dalam Jami’ul Ulum wal Hikam dalam penjelasan hadits ke 19 ketika membahas bagian wasiat Rasulullah kepada Ibnu Abbas, “Ingatlah Allah ketika engkau dalam keadaan lapang, Allah akan mengingatmu ketika kamu dalam keadaan sempit” dan itulah pesan dari kisah Yunus ‘alaihisalam dan Firaun, ingatlah Allah di waktu kita lapang, sehat, gagah dan berkecukupan. Balasannya, Allah akan ingat kita di waktu kita sempt, sakit, lemah, banyak hutang, Allah akan mengingat kita dengan pertolonganNya.


Penulis: Amrullah Akadhinta, ST.
Artikel Muslim.Or.Id