Selasa, 30 Desember 2014

Kisah Kesabaran Tanpa Batas

Diterjemahkan oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat, oleh Syaikh Muh. Al Arify.

Abu Ibrahim bercerita:

Suatu ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat tidak bisa pulang. Di sana kutemukan sebuah kemah lawas… kuperhatikan kemah tersebut, dan ternyata di dalamnya ada seorang tua yang duduk di atas tanah dengan sangat tenang…

Ternyata orang ini kedua tangannya buntung… matanya buta… dan sebatang kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya komat-kamit mengucapkan beberapa kalimat..

Aku mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat berikut:

الحَمْدُ لله الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍمِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً ..الحَمْدُ لله الَّذِي فَضَّلَنِي عَلَى كَثِيْرٍمِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً .. ..
Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…

Aku heran mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh… ternyata sebagian besar panca inderanya tak berfungsi… kedua tangannya buntung… matanya buta… dan ia tidak memiliki apa-apa bagi dirinya…

Kuperhatikan kondisinya sambil mencari adakah ia memiliki anak yang mengurusinya? atau isteri yang menemaninya? ternyata tak ada seorang pun…

Aku beranjak mendekatinya, dan ia merasakan kehadiranku… ia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”

“Assalaamu’alaikum… aku seorang yang tersesat dan mendapatkan kemah ini” jawabku, “Tapi kamu sendiri siapa?” tanyaku.

“Mengapa kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, dan kerabatmu? lanjutku.

“Aku seorang yang sakit… semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah meninggal…” jawabnya.

“Namun kudengar kau mengulang-ulang perkataan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…!! Demi Allah, apa kelebihan yang diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir, buntung kedua tangannya, dan sebatang kara…?!?” ucapku.

“Aku akan menceritakannya kepadamu… tapi aku punya satu permintaan kepadamu, maukah kamu mengabulkannya?” tanyanya.

“Jawab dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu” kataku.

“Engkau telah melihat sendiri betapa banyak cobaan Allah atasku, akan tetapi segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… bukankah Allah memberiku akal sehat, yang dengannya aku bisa memahami dan berfikir…?

“Betul” jawabku. lalu katanya: “Berapa banyak orang yang gila?”

“Banyak juga” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia” jawabnya.

“Bukankah Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku bisa mendengar adzan, memahami ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya.

“Iya benar”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb” jawabnya.

“Betapa banyak orang yang tuli tak mendengar…?” katanya.

“Banyak juga…” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb”, katanya.

“Bukankah Allah memberiku lisan yang dengannya aku bisa berdzikir dan menjelaskan keinginanku?” tanyanya.

“Iya benar” jawabku. “Lantas berapa banyak orang yang bisu tidak bisa bicara?” tanyanya.

“Wah, banyak itu” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb” jawabnya.

“Bukankah Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya… mengharap pahala dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?” tanyanya.

“Iya benar” jawabku. lalu katanya: “Padahal berapa banyak orang yang menyembah berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia dan akhirat…!!”

“Banyak sekali”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas orang banyak tsb” katanya.

Pak tua terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu… dan aku semakin takjub dengan  kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela terhadap pemberian Allah…

Betapa banyak pesakitan selain beliau, yang musibahnya tidak sampai seperempat dari musibah beliau… mereka ada yang lumpuh, ada yang kehilangan penglihatan dan pendengaran, ada juga yang kehilangan organ tubuhnya… tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong ‘sehat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis sejadi-jadinya… mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan Allah atas musibah yang menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar…

Aku pun menyelami fikiranku makin jauh… hingga akhirnya khayalanku terputus saat pak tua mengatakan:

“Hmmm, bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang… maukah kamu mengabulkannya?”

“Iya.. apa permintaanmu?” kataku.

Maka ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis.. ia berkata: “Tidak ada lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang bocah berumur 14 tahun… dia lah yang memberiku makan dan minum, serta mewudhukan aku dan mengurusi segala keperluanku… sejak tadi malam ia keluar mencari makanan untukku dan belum kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah ia masih hidup dan diharapkan kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja… dan kamu tahu sendiri keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak bisa mencarinya…”

Maka kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan mencarikan bocah tersebut untuknya…

Aku pun meninggalkannya dan tak tahu bagaimana mencari bocah tersebut… aku tak tahu harus memulai dari arah mana…

Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya kepada orang sekitar tentang si bocah, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah bukit kecil yang tak jauh letaknya dari kemah si pak tua.

Di atas bukit tersebut ada sekawanan burung gagak yang mengerumuni sesuatu… maka segeralah terbetik di benakku bahwa burung tersebut tidak lah berkerumun kecuali pada bangkai, atau sisa makanan.

Aku pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka berhamburan terbang.

Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si bocah telah tewas dengan badan terpotong-potong… rupanya seekor serigala telah menerkamnya dan memakan sebagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk burung-burung…

Aku lebih sedih memikirkan nasib pak tua dari pada nasib si bocah…

Aku pun turun dari bukit… dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang mendalam…

Haruskah kutinggalkan pak Tua menghadapi nasibnya sendirian… ataukah kudatangi dia dan kukabarkan nasib anaknya kepadanya?

Aku berjalan menujuk kemah pak Tua… aku bingung harus mengatakan apa dan mulai dari mana?

Lalu terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyu ‘alaihissalaam… maka kutemui pak Tua itu dan ia masih dalam kondisi yang memprihatinkan seperti saat kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yang malang ini demikian rindu ingin melihat anaknya… ia mendahuluiku dengan bertanya: “Di mana si bocah?”

Namun kataku: “Jawablah terlebih dahulu… siapakah yang lebih dicintai Allah: engkau atau Ayyub ‘alaihissalaam?”

“Tentu Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah” jawabnya.

“Lantas siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.

“Tentu Ayyub…” jawabnya.

“Kalau begitu, berharaplah pahala dari Allah karena aku mendapati anakmu telah tewas di lereng gunung… ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya…” jawabku.

Maka pak Tua pun tersedak-sedak seraya berkata: “Laa ilaaha illallaaah…” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya… namun sedakannya semakin keras hingga aku mulai menalqinkan kalimat syahadat kepadanya… hingga akhirnya ia meninggal dunia.

Ia wafat di hadapanku, lalu kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya… lalu aku keluar untuk mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya…

Maka kudapati ada tiga orang yang mengendarai unta mereka… nampaknya mereka adalah para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku…

Kukatakan: “Maukah kalian menerima pahala yang Allah giring kepada kalian? Di sini ada seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yang mengurusinya… maukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”

“Iya..” jawab mereka.

Mereka pun masuk ke dalam kemah menghampiri mayat pak Tua untuk memindahkannya… namun ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak: “Abu Qilabah… Abu Qilabah…!!”

Ternyata Abu Qilabah adalah salah seorang ulama mereka, akan tetapi waktu silih berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat dalam sebuah kemah lusuh…

Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah…

Malamnya aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah… ia mengenakan gamis putih dengan badan yang sempurna… ia berjalan-jalan di tanah yang hijau… maka aku bertanya kepadanya:

“Hai Abu Qilabah… apa yang menjadikanmu seperti yang kulihat ini?”

Maka jawabnya: “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di dalamnya:

( سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار )
Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu… maka (inilah Surga) sebaik-baik tempat kembali

Kisah ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan penyesuaian.

diambil dari :
http://www.konsultasisyariah.com/kisah-kesabaran-tanpa-batas/

Selasa, 02 Desember 2014

Jatuh Cinta

Jatuh Cinta

Rabu, 03 Desember 2014 , 10:04:15
Oleh : Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc

kata orang..

jatuh cinta itu lumrah..

sudah fitrah manusia..

tapi menyibukkan hati dari berdzikir..

selalu ingat si dia..

dalam banyak aktivitas..

padahal kata ulama..

mengingat manusia itu penyakit..

sedangkan mengingat Allah itu penawar kegundahan hati..

kata orang..

jatuh cinta itu indah..

tapi membuat mabuk kepayang..

sebetulnya jatuh cinta itu siksaan batin..

tersiksa oleh kekhawatiran..

tersiksa oleh kerinduan..

tersiksa oleh khayalan dan angan-angan..

padahal belum tentu jodoh..

apalagi lelaki yang sudah beristri..

ketika jatuh cinta kepada wanita lain..

ia dijadikan lupa kepada yang halal..

dan sibuk dengan yang haram..

bertepuk sebelah tangan..

jatuh cinta tak berguna..

menderita di dunia sebelum di akhirat..

bagai mengejar fatamorgana..

padahal ada cinta yang tak kan pernah bertepuk sebelah tangan..

ia adalah cinta kepada Allah..

cinta yang memberi keindahan hidup..

cinta yang tak ada lagi di atasnya cinta..

rindu kepada Ar Rahman..

merasakan kenikmatan batin ketika asyik berduaan denganNya..

untuk itulah kita hidup..

untuk itu pula kita meninggal..

ya Rabb..

Ditulis oleh Ustadz Badru Salam, Lc

Dipost tgl 10 Shafar 1436 / 3 Nov 2014

diambil dari 

http://m.salamdakwah.com/baca-artikel/jatuh--cinta.html#.VH7C9fH-LqA

Senin, 20 Oktober 2014

Teman....


             ***** TEMAN *****

Ustadz Badru Salam, Lc, حفظه الله تعالى

Teman..
lihatlah rumput ilalang yang bergoyang..
seakan membisikan pengalaman..
seraya berkata..
hidupku tak lepas dari terpaan angin..
terkadang aku merunduk..
terkadang pula meliuk liuk..
namun itu tak membuatku tersungkur..

Teman..
itulah kehidupan..
tak lepas dari aral yang melintang..
ujian dan cobaan silih berganti..
menyaring keimanan..
demikian Robb kita berfirman:
alif laam miim..
apakah manusia mengira akan dibiarkan berucap kami beriman sementara ia tidak diuji.. (al ankabut: 1)

Teman..
tidakkah kita ingin setegar batu karang..
yang selalu diterjang ombak samudra..
namun ia tegar tak bergeming..
seakan tersenyum anggun menuai kesabaran..

Teman..
sabar di dunia amat indah..
walau pahit dan getir terasa..
tapi ia sementara dan tak lama..
sedangkan sabar di neraka tak lagi berguna..
dalam masa yang amat panjang..
satu harinya sama dengan lima puluh ribu tahun di dunia..
manakah kesabaran yang engkau pilih..

Teman..
sabarlah di atas jalan Rabbmu..
sabarlah tuk menaati Nabimu..
sampai kita berjumpa denganNya..
Nabi bersabda..
bersabarlah.. sampai berjumpa denganku di telaga haudl..

Jumat, 17 Oktober 2014

Membawa Ember Yang Bocor

Saudara/i, berikut revisi notulen kajian Ustadz Syafiq Basalamah. Dicatatkan oleh seorang hamba, semoga Allah melimpahkan rahmat pada beliau & keluarga, dan mencatatkan ini sebagai amalan jariyah bagi beliau yg tidak akan terputus. Dan semoga Allah merahmati kita semua...

Allaahumma aammiin

----------------------------------

Ust Dr Syafiq Basalamah Lc, MA

18 oktober 2014

Masjid Habibur Rahman - Bandung


Riya menyebabkan kita hasad tapi ikhlas tidak.

Hati2 akhi, selama ini kita beramal, tapi mgkn kita tdk tahu bahwa kita tdk pernah melandasinya ndengan keikhlasan.

Seperti membawa ember bocor.


Tanda tanda keikhlasan


1. Suka menyembunyikan amalan.

Orang lain tdk perlu tahu apa yang kita lakukan.

Ada seseorang yang selama 20 th puasa sunnah tidak diketahui keluarganya. Ternyata  bekal makan siang dari istrinya selalu disedekahkan pada orang lain saat di jalan. Jadi lakukan amalan hanya untuk Allah, tidak perlu semua orang tahu kebaikan yang kita lakukan sebagaimana juga kita tidak ingin keburukan kita diketahui orang lain.


2. Selalu menuduh diri kita dengan kekurangan.

Tidak memuji diri sendiri. Jangan merasa diri kita sudah baik dari orang lain.

Kalau bertemu dengan orang yang lebih tua, maka katakanlah orang tsb lebih baik, krn ia lebih dulu sujud pada Allah, lebih banyak beribadah dariku. Ketika bertemu orang lebih muda, maka katakanlah ia lebih baik. Karena ia berbuat dosa lebih sedikit dariku.

Jadi tuduhlah diri, apakah amalan kita diterima atau tidak?


3. Berlapang dengan dunia.

Afwan ana krang menyimak yang ini, tp intinya qanaah thd apa yang Allah berikan kepada kita dan tdk mengubah kualitas amalan kita.


4. Tidak menanti balasan dari orang lain.

Beramal hanya semata mata karena Allah, tidak memerdulikan apakah ia akan mendapat balasan (kebaikan) dari orang lain atau tidak.

Al insan ayat 8-9.

"Dan orang2 itu memberi makan pada orang lain, padahal ia cinta dengan hartanya. Hanya mengharap keridhoan Allah


5. Tidak nengharap pujian dan tidak tertipu dengan sanjungan.

Tanda keikhlasan

- tidak mengharap pujian

- tidak pernah merasa amalan itu ada

- mengharap pahala dari Allah di akhirat


6. MengAkui keunggulan/ kebaikan orang lain dan tidak pelit memberikan pujian utk krbaikan orang lain.

Kita tidak boleh melupakan orang yang telah berbuat baik kepada kita. Krn jika kita melakukannya, hati2 karena boleh jadi kita selama ini tidak ikhlas dalam mengerjakan amal kebaikan.


Rasul bersabda jika ada orang telah berbuat baik pada kalian, balaslah kebaikannya. Jk kalian tdk mempunyai apapun, maka doakanlah..

Hadits lainnya:

Jika ada org lain telah berbuat baik kpd kita, maka dengan menyebut bahwa si fulan telah berbuat baik pada kita, telah termasuk syukur nikmat. Dan menyembunyikannya termasuk kufur nikmat.


Kisah rasul bertemu dengan saudari sepersusuannya, syaimah, saat perang.

Suatu ketika, syaimah jadi tawanan perang, dan rasul tdk melupakan kebaikannya saat kecil dengan menghamparkan selendang rasul utk jadi tempat duduk saudarinya tsb


Ulama salaf juga saling memberikan pujian pada ulama lainnya.


7. Tidak mempermasalahkan dengan posisinya/ jabatannya/ kedudukannya

Misal seseorang yang awalnya punya jabatan, lalu diturunkan jabatannya.

Orang yang ikhlas, tdk mempermasalahkannya kedudukannya, urusannya hanyalah beramal untuk Allah.


8. Luar dalam amalannya sama.

Orang yg paling tahu amalan kita adalah istri kita dan pembantu kita.

Jangan ketika di luar beramal baik namun ketika di dalam (di rumah/ keluarga) semua keburukan kita lakukan.


9. Menyempurnakan tugas dan kewajiban.

Tidak menunggu ia diawasi/ tidak peduli ia dilihat orang atau tidak.


10. Siap dikritik.

Umar ra berkata semoga Allah merahmati orang2 yang menghadiahkan kekurangan kekuranganku.

Orang yg tahu kekurangan kita adalah orang2 yang tdk suka dengan kita...


11. Keridhoan dan amarahnya bukan buat dirinya, tapi ia marah karena Allah. Begitu juga dengan kesenangannya/ keridhoannya, untuk Allah.


12. Diberi atau tidak diberi (balasan kebaikan) tidak berubah amalannya.


Lihat analogi yang baik dalam Sebuah hadits:

Perempuan, pezina, yang memberikan minum seekor anjing, dengan keikhlasan, dan Allah masukkan ia ke dalam surga.

Logika: apakah si wanita tsb akan mengharap anjing tsb mengucapkan teima kasih? Apakah si anjing tsb akan memberikan balasan kebaikan pada wanita tsb?

Subhanallah.


Diskusi

---------

1. Memberikan hadiah, dg meminta didoakan pada yg diberikan, tidak masalah. Yang penting bukan memberikan sesuatu krn mengharapkan didoakan.


2. Apakah perlu kita klarifikasi bila kita dianggap salah oleh orang lain dengan membuka kebaikan2 kita? Sebaiknya tidak. Jangan membuka lembaran kebaikan yang telah kita lakukan tapi justu tambahlah. Yang dibuka adalah lembar lembar kesalahan kita.


3. Bagaimana memudahkan keikhlasan dalam mencari ilmu? Dengan mempelajari ilmu ttg keikhlasan itu tersebdiri


4. Meninggalkan perbuatan karena nanusia itu riya, padahal sebenarnya tdk mutlak demikian, krn aebenarnya dapat dilakukan utk menjaga hati.. Sebaiknya mengerjakan perbuatan karena manusia itu syirik.


5. Niat menuntut ilmu seharusnya adalah mengangkat kebodohan dirinya, lalu bagaimana mengamalkan ilmu tsb, dan yang ketiga, bagaimana berdakwah dgn ilmu tersebut.


6. Ada amalan2 yg bisa kita lakukan tanpa istri tahu, misalnya sedekah.


7. Orang yang beramal, dari awal sudah riya,

Maka tidak diterima amalannya.

Ada jg yang di tengah2 amalan, timbul godaaan ada juga yang di akhir amalan.


Taubat itu menghapuskan dosa2 kita yang telah lalu.

Secawan Air Dari Telaga Kautsar

Saudara saudariku, berikut adalah catatan kajian dari seseorang yg hanif (semoga Allah merahmatinya dan memberikannya pahala jariyah atas ilmu yg ia ikatkan dlm catatannya untuk kita).

Semoga Bermanfaat

-----------------------------------

Abu Yahya Badrussalam lc
25 mei 2014
Mesjid al husna jakarta utara

Imam ahmad mengatakan nikmat sunnah adalah nikmat yang lebih baik di atas nikmat iman dan islam.

Nikmat atas sunnah ini akan mengantarkan kita ke surga dan meminum air telaga kautsar

Sesungguhnya aku akan mendahului kalian dan akan menunggu kalian di telaga kautsar
Hr bukhori

Telaga kautsar ada di padang mahsyar
Barang siapa yang meminum dari telaga kausar, maka dia tdk akan merasa haus selama-lamanya

Sifat telaga kautsar
- airnga lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu
- wanginya lebih wangi dari misiq (kesturi)
- lebarnya sebulan perjalanan dg unta

Dan sungguh akan ada suatu kaum yang aku kenal mereka dan mereka kenal aku, namunterdapat penghalang di antara kami.. Rasul bertanya, ini dari kaumku. Lalundikatakan kepada rasul, engkau tdk tahu apa yg mereka perbuat sesudah engkau. Lalu rasul berkata, jauhkan mereka dariku, yang mengubah ubah sesudahku (bidah).

Apa yang menyebabkan kita dpt meminum air telaga kautsar?
1) berpegang pada sunnah
  Hr abu hurairah,
  Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian dua hal, yg bila kalian berpegang teguh, niscaya tdk akan sesat. Aku akan bertemu lg dg mereka dintelaga kautsar.
   Orang yg mempelajar quran dan sunnah, tdk akan menjadi kafir.
   Bahkan dajjal pun tdk mampu menyesatkan org yg berpegang pada quran dan sunnah.
Ada hadits tentang seprang pemuda yang digergaji oleh dajjal.

Qs3:140
bagaimana kalian akan menjadi kafir, sementara kalian dibacakan terusnayat2 Allah, dan ada rasul bersama kalian

Siapa yang berpegang pada agama Allah, akan diberikan jalan yang lurus.
Al quran

2) sabar menghadapi pemimpin yg zholim
Sesungguhnya nanti akan ada al adzaroh, yakni pemimpin yg lebih mementingkan dirinya dibandingkan rakyatnya, maka bersabarlah kalian.
Sampai kapan? Sampai kalian bertemu di telaga kautsar

Hr imam muslim
Akan ada nanti pemimpin hang mengambil sunnah selain sunnahku, mengambil petunjuk selain petunjukku. Dan kelak akan ada pemimpin yg hatinya syaiton berbadan manusia. Sahabat berkata, apa yg harus kami lakukan.
Maka kata rasul, dengar dan taati, walaupun kamu dipukul atau hartamu diambil.
Bersabarlah kalian. Sampai kapan ya rasul? Sampai kalian bertemu dgnku di telaga kautsar.

3) meski kita bersabar, namun hati kita tetap mengingkari kejahatan mereka.
Hr
Akan ada pemimpin yang bodoh. Apa itu pemimpin bodoh? Yakni mereka yg mengambil petunjuk selain petunjukku, mengambil sunnah selain sunnahku, maka barangsiapa yg membenarkan mereka, membantu atas kezoliman mereka, maka mereka bukan dariku, dan aku jg bukan darinya. Mereka tdk akan singgah ke telagaku. Sebaliknya mereka yg tdk membenarkan, maka mereka adalah dariku, dan aku dari mereka. Dan mereka akan mampir ke telagaku.

Mengingkari dgn perbuatan, kata, dan hati.
Hati adalah selemah-lemah iman.

Bukan dgn melakukan demo.
Siapa yang ingin menasihati penguasa, jangan terang2an, lakukan dengan rahasia.
Jika pemimpin tdk menerimanya, maka ia telah selesai melakukan tugasnya.

Bukan dgn menebar aib, spt yg terjadi pada zaman skrg.
Ingat kisah musa dan harun (dalam alquran) menyampaikan nasihat ke firaun. Sampaikanlah dgn lemah lembut.

4) orng yg selalu menjaga sholat dan wudhu
Hr muslim dari huzaifah
Demi dzat Allah, sungguh aku akan menghalau manusia ke telagaku. Apakah engkau akan mengenali kami sebagai umatmu?
Ya kalian akan singgah, dgn ubun2 dan kaki tangan kalian yg bercahaya karena bekas air wudhu.

Hadits
Dan tidak ada yg menjaga wudhunya kecuali orang mukmin

Hadits
Rasul bertanya pada bilal, apa yg membuatmu mendahuluiku masuk surga? Bilal berkata, aku setiap kali ada hadats, berwudhu dan sholat 2 rakaat.

5) menjauhi segala macam perbuatan bid'ah.
Hadits
Setiap orang yang mengada-ada dalam agama, maka ia akan terusir dari telaga kautsar

Hadits
Nanti akan ada beberapa orang yg tdk akan bisa minum air telaga kautsar.
Hadits ini menggunakan kata ar-rijaalu, yg termasuk ketetapan, dan itu biasanya dipakai untuk gambaran sedikit.
Artinya dari hadits ini
Orng2 yg melakukan bidah, tetap akan minum telaga kautsar, setelah melewati neraka
bidah yabg termasuk maslaah akidah, yang sudah disepakati para ulama.
Spt orang2 rafidhoh, tasawwuf

6) TauhiduLlah (mentauhidkan Allah)
Hadits qudsi
Barangsiapa yg mengucapkan Laa ilaaha ilallah dengan kejujuran hatinya, pastinakan masuk surga, meski ia pezinah dan pencuri.

7) istiqamah di atas sunnah, kesabaran

8) mendapatkan syafaat dari rasulullah
Hadits
Aku diberikan pilihan oleh Allah, antara dua, setengah umatku masuk syurga, dan syafaat. Dan syafaatku adalah untuk orang yg meninggal dalam tauhid

Syafaat ada 2 macam.
1) syafaat khusus
    - syafaat kubra
    - syafaat untuk abu tholib
    - syafaat untuk ahli surga agar dapat memasuki surga
2) syafaat umum
   - untuk orang2 yg berbuat dosa besar dari ummat islam, agar mereka yg di dalam neraka, dikeluarkan dari neraka,

Syafaat itu hanya milik Allah. Manusia tdk memiliki syafaat bahkan rasulullah.
Syafaat bisa diperoleh dengan izin dan ridho Allah

Mengambil beberapa penggal ayat dari quran dalam sholat.
- ini tdk sesuai sunnah, karena kebiasaan rasulullah adalah membaca satu surat penuh

Boleh berbicara saat wudhu


Jumat, 11 Juli 2014

Luqman Al-Hakim

Assalamu'alaikum warohmatullah wabarokatuh....

Kembali menemukan bahasan mengenai Luqman Al-Hakim oleh Ustadz Salim A. Fillah. Dibahas dengan apik dalam buku beliau, Lapis-Lapis Keberkahan.

----------------------------------

Di lapis-lapis keberkahan, mari sejenak belajar dari seorang ayah, budak penggembala kambing yang bertubuh kurus, berkulit hitam, berhidung pesek, dan berkaki kecil. Tetapi manusia menggelar hamparan mereka baginya, membuka pintu mereka selebar-lebarnya, dan berdesak-desak demi menyimak kata-kata hikmahnya. Dia, Luqman ibn ‘Anqa’ ibn Sadun, yang digelari Al Hakim.

Seseorang pernah bertanya kepadanya, “Apa yang telah membuatmu mencapai kedudukan serupa ini?”

“Aku tahan pandanganku”, jawab Luqman, “Aku jaga lisanku, aku perhatikan makananku, aku pelihara kemaluanku, aku berkata jujur, aku menunaikan janji, aku hormati tamu, aku pedulikan tetanggaku, dan aku tinggalkan segala yang tak bermanfaat bagiku.”

“Dia tak diberikan anugrah berupa nasab, kehormatan, harta, atau jabatan”, ujar Abud Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu ketika menceritakan Luqman Al Hakim. “Akan tetapi dia adalah seorang yang tangguh, pendiam, pemikir, dan berpandangan mendalam. Dia tidak pernah terlihat oleh orang lain dalam keadaan tidur siang, meludah, berdahak, kencing, berak, menganggur, maupun tertawa seenaknya. Dia tak pernah mengulang kata-katanya, kecuali ucapan hikmah yang diminta penyebutannya kembali oleh orang lain.”

“Dan Kami telah mengaruniakan hikmah kepada Luqman, bahwasanya hendaklah engkau bersyukur kepada Allah. Dan barangsiapa bersyukur, maka hanyasanya dia bersyukur bagi dirinya. Dan barangsiapa mengkufuri nikmat, sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuja.” (QS Luqman [31]: 12)

“Hikmah”, tulis Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Yakni pengetahuan, pemahaman, dan daya untuk mengambil pelajaran.” Inilah yang menjadikan Luqman berlimpah kebijaksanaan dalam kata maupun laku. Tetapi setinggi-tinggi hikmah itu adalah kemampuan Luqman untuk bersyukur dan kepandaiannya untuk mengungkapkan terimakasih.

“Kemampuan untuk mensyukuri suatu nikmat”, ujar ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, “Adalah nikmat yang jauh lebih besar daripada nikmat yang disyukuri itu.” Dan pada Luqman, Allah mengaruniakannya hingga dia memahami hakikat kesyukuran secara mendalam. Bersyukur kepada Allah berarti mengambil maslahat, manfaat, dan tambahan nikmat yang berlipat-lipat bagi diri kita sendiri. Bersyukur kepada Allah seperti menuangkan air pada bejana yang penuh, lalu dari wadah itu tumpah ruah bagi kita minuman yang lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, lebih sejuk dari salju.

Adapun bagi yang mengkufuri Allah, adalah Dia Maha Kaya, tidak berhajat sama sekali pada para hambaNya, tidak memerlukan sama sekali ungkapan syukur mereka, dan tidak membutuhkan sama sekali balasan dari mereka. Lagi pula Dia Maha Terpuji, yang pujian padaNya dari makhluq tidaklah menambah pada kemahasempurnaanNya, yang kedurhakaan dari segenap ciptaanNya tidaklah mengurangi keagunganNya.

Maka Luqman adalah ahli syukur yang sempurna syukurnya kepada Allah. Dia mengakui segala nikmat Allah yang dianugrahkan padanya dan memujiNya atas karunia-karunia itu. Dia juga mempergunakan segala nikmat itu di jalan yang diridhai Allah. Dan dia pula berbagi atas nikmat itu kepada sesama sehingga menjadikannya kemanfaatan yang luas.

“Seseorang yang tidak pandai mensyukuri manusia”, demikian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits riwayat Imam At Tirmidzi, “Sungguh dia belum bersyukur kepada Allah.” Maka asas di dalam mendidik dan mewariskan nilai kebaikan kepada anak-anak sebakda bersyukur kepada Allah sebagai pemberi karunia adalah bersyukur kepada sang karunia, yakni diri para bocah yang manis itu.

Di lapis-lapis keberkahan, rasa syukur yang diungkapkan kepada anak-anak kita adalah bagian dari bersusun-susun rasa surga dalam serumah keluarga.

“Nak, sungguh kami benar-benar beruntung ketika Allah mengaruniakan engkau sebagai buah hati, penyejuk mata, dan pewaris bagi kami. Nak, betapa kami sangat berbahagia, sebab engkaulah karunia Allah yang akan menyempurnakan pengabdian kami sebagai hambaNya dengan mendidikmu. Nak, bukan buatan kami amat bersyukur, sebab doa-doamulah yang nanti akan menyelamatkan kami dan memuliakan di dalam surga.”

Inilah Rasulullah yang mencontohkan pada kita ungkapan syukur itu bukan hanya dalam kata-kata, melainkan juga perbuatan mesra. “Ya Rasulallah, apakah kau mencium anak-anak kecil itu dan bercanda bersama mereka?”, tanya Al Aqra’ ibn Habis, pemuka Bani Tamim ketika menghadap beliau yang sedang direriung oleh cucu-cucu Baginda.

“Mereka adalah wewangian surga, yang Allah karuniakan pada kita di dunia”, jawab beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sembari tersenyum.

“Adalah aku”, sahut Al Aqra’ ibn Habis, “Memiliki sepuluh anak. Dan tak satupun di antara mereka pernah kucium.”

“Apa dayaku jika Allah telah mencabut rahmatNya dari hatimu? Barangsiapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.”

“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya dan dia sedang memberi pengajaran kepadanya, ‘Duhai anakku tersayang, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang besar.” (QS Luqman [31]: 13)

Dengarlah Luqman memanggil putranya, Tsaran ibn Luqman dengan sapaan penuh cinta, “Ya Bunayya.. Anakku tersayang.” Alangkah besar hal yang akan dia ajarkan. Betapa agung nilai yang akan dia wariskan. Yakni tauhid. Bahwa Allah adalah Rabb, Dzat  yang telah mencipta, mengaruniakan rizqi, memelihara, memiliki, dan mengatur segala urusannya. Maka mempersekutukan Dia; dalam ibadah, pengabdian, dan ketaatan adalah sebuah kezhaliman yang besar.

Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita sejak seawal-awalnya, dengan cara yang paling pantas bagi keagungan dan kemuliaanNya. Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita dari semula-mulanya, dengan kalimat yang paling layak bagi kesucian dan keluhuranNya. Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita mulai sepangkal-pangkalnya, dengan ungkapan dan permisalan yang paling sesuai bagi kesempurnaan dan kebesaranNya.

Sebab janji kehambaan seorang makhluq telah diikrarkan sejak di alam ruh, maka membisikkan tauhid ke dalam kandungan, melirihkannya pada telinga sang bayi dalam buaian, atau menyenandungkannya sebagai pengajaran adalah baik adanya.

“Dan Kami wasiatkan kepada manusia kebaikan terhadap kedua orangtuanya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, ‘Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orangtuamu. KepadaKulah tempat kembalimu.”(QS Luqman [31]: 14)

Maha Mulia-lah Dzat yang dalam pembicaraan tentang keesaanNya dari pengajaran seorang ayah kepada putra, Dia meminta perhatian sejenak tentang hak kedua orangtua. Maha Agung-lah Dzat yang dalam penuturan tentang ketauhidanNya dari wasiat seorang bapak kepada anak, Dia mengingatkan kita tentang kebaikan yang wajib kita tanggung terhadap sosok yang telah mengandung, melahirkan, mendidik, dan menumbuhkan kita.

Sesungguhnya lisan perbuatan jauh lebih fasih daripada lisan perucapan. Maka apa yang dilihat oleh anak-anak kita akan terrekam lebih kokoh di dalam benak dan jiwa mereka dibanding semua kata-kata yang coba kita ajarkan padanya. Maka siapapun yang merindukan anak berbakti bakda ketaatannya kepada Allah, bagaimana dia memperlakukan kedua orangtua adalah cermin bagaimana kelak putra-putrinya berkhidmat kala usia telah menua.

Allah menyatukan antara kesyukuran padaNya dengan kesyukuran pada orangtua, sebab melalui ayah dan ibulah Dia mencipta kita, memelihara, mengaruniakan rizqi, serta mengatur urusan. Ayah dan ibu adalah sarana terjadinya kita, terjaganya, tercukupi keperluannya, serta tertata keadaannya. Maka Allah menganugerahkan kehormatan kepada mereka dengan doa yang indah, “Rabbighfirli wa li walidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira.”

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tiada pengetahuan bagimu terhadapnya, maka janganlah kau taati keduanya. Dan persahabatilah mereka berdua di dunia dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali bertaubat kepadaKu, kemudian hanya kepadaKulah tempat pulang kalian, maka akan Kuberitakan pada kalian apa-apa yang telah kalian kerjakan.” (QS Luqman [31]: 15)

Allah memberikan batas yang jelas tentang bakti kepada orangtua, yakni lagi-lagi tauhid itu sendiri. Tidak ada ketaatan kepada makhluq, siapapun dia, semulia apapun dia, dalam rangka bermaksiat kepada Al Khaliq. Tapi berbedanya keyakinan orangtua yang masih musyrik dengan kita yang mengesakan Allah sama sekali tak menggugurkan perlakuan yang patut dan sikap bakti yang terpuji terhadap mereka.

Jalan untuk menjadi orangtua yang mampu mendidik anaknya juga hendaknya mengikuti jalan orang-orang yang bertaubat nashuha. Sebab tak ada yang suci dari dosa selain Sang Nabi, maka sebaik-baik insan adalah yang menyesali salah, memohon ampun atasnya, memohon maaf kepada sesama, serta berbenah memperbaiki diri. Pun demikian terhadap anak-anak kita.

Banyakkan istighfar atas ucapan dan perlakuan kepada putra-putri kita. Jangan malu mengakui kekhilafan dan meminta maaf kepada mereka. Teruslah memperbaiki diri dengan ilmu dan pemahaman utuh bagaimana seharusnya menjadi seorang Ayah dan Ibu yang amanah. Sebab kelak, ketika seluruh ‘amal kita kembali tertampak, Allah pasti menanyakan segenap nikmat yang telah kita kecap, dan meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan. Pada hari itu, seorang anak yang tak dipenuhi hak-haknya oleh orangtua untuk mendapatkan ibunda yang baik, lingkungan yang baik, nama yang baik, serta pengajaran adab yang baik; berwenang untuk menggugat mereka.

“Duhai anakku tersayang, sungguh seandainya ada sesuatu yang seberat timbangan biji sawi tersembunyi di dalam sebuah batu, atau di lapis-lapis langit, atau di petala bumi; niscaya Allah akan mendatangkan balasannya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Tahu.” (QS Luqman [31]: 16)

Luqman melanjutkan pengajarannya dengan menjelaskan hakikat ‘amal baik dan buruk serta dasar dorongan beramal yang sejati. Ini dilakukannya sebelum memberi perintah tentang ‘amal shalih di kalimat berikutnya. Sungguh, menanamkan pada anak-anak kita bahwa Allah senantiasa ada, bersama, melihat, mendengar, mengawasi, dan mencatat perbuatan dan keadaan mereka, jauh lebih penting dibanding perintah ‘amal itu sendiri.

Sungguh memahamkan pada anak bahwa Allah-lah yang senantiasa hadir di setiap ‘amal maupun hal, bahwa Dia Maha Mengetahui segala yang tampak maupun tersembunyi, yang mereka lakukan kala ramai bersama maupun sunyi sendiri, adalah dasar terpenting sebelum memerintahkan kebajikan dan melarang dari kemunkaran. Dan bahwa Allah akan membalas semua itu dengan balasan yang setimpal dan sempurna.

Penting bagi kita untuk mengatakan pada mereka, “Nak, Ayah dan Ibu tak selalu bias bersamamu dan mengawasimu, tapi Allah senantiasa dekat dan mencatat perbuatanmu. Dia Maha Melihat dan Maha Mendengar. Jangan takut kalau kamu berlaku benar dan berbuat baik, sebab Dia akan selalu menolongmu. Jangan khawatir ketika kamu berlaku benar dan berbuat baik, sebab sekecil apapun ‘amal shalihmu, meski Ayah dan Ibu serta Gurumu tak tahu, tak dapat memuji maupun memberikan hadiah padamu; tetapi Allah selalu hadir dan balasan ganjaran dari Allah jauh lebih baik dari segala hal yang dapat diberikan oleh Ayah dan Ibu.”

“Demikian pula Nak, jika kamu berbuat keburukan atau berbohong, sekecil apapun itu, meski Ayah, Ibu, maupun Ustadzmu tak menyadarinya, sungguh Allah pasti tahu. Dialah Dzat yang tiada satu halpun lepas dari pengetahuan dan kuasaNya, hatta daun yang jatuh dan langkah seekor semut di malam gulita. Dan Allah juga pasti memberi balasan yang adil pada setiap kedurhakaan padaNya, juga atas keburukan yang kamu lakukan pada Ayah, Ibu, dan sesama manusia lainnya.”

Inilah dia pokok-pokok pengajaran; dari sejak rasa syukur, tauhid, bakti kepada orangtua, taubat, hingga pemahaman akan hakikat ‘amal di hadapan Allah. Ianya harus menjadi perhatian setiap orangtua bahkan sebelum memerintahkan ‘amal terpenting di hidup anak-anak mereka yang akan dihisab pertama kalinya, yakni shalat. Kini kita tepekur menganggukkan kepala, mengapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi arahan agar kita memerintahkan shalat kepada anak barulah ketika dia berumur tujuh, dan barulah orangtua diizinkan memberi pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak menghinakan pada umur sepuluh tahun ketika anaknya menolak shalat.

Sebab sebelum tujuh tahun, ada hal-hal jauh lebih besar yang harus lebih didahulukan untuk ditanamkan padanya.

“Duhai anakku tersayang, tegakkanlah shalat, perintahkanlah yang ma’ruf, cegahlah dari yang munkar, dan bersabarlah atas apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara-perkara yang ditekankan.” (QS Luqman [31]: 17)

“Dirikanlah shalat dengan menegakkan batas-batasnya”, tulis Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Menunaikan fardhu-fardhunya, serta menjaga waktu-waktunya.” Shalat yang mencegah perbuatan keji dan munkar pada diri selayaknya diikuti tindakan untuk mengajak dan menjaga manusia supaya tetap berada di dalam kebaikan dan terjauhkan dari keburukan. Shalat yang kita ajarkan pada anak-anak kita sudah selayaknya membentuk jiwa dakwah yang tangguh pada dirinya, hingga dia mampu bersabar atas segala yang menimpanya di dalam beriman, berislam, berihsan, berilmu, dan berdakwah.

“Dan janganlah engkau memalingkan muka dari manusia serta jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah engkau dalam berjalan, serta tahanlah sebagian suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS Luqman [31]: 18-19)

Kata “Ash Sha’r”, menurut Imam Ath Thabari asalnya bermakna penyakit yang menimpa tengkuk seekor unta sehingga kepala dan punuknya melekat dengan wajah yang terangkat ke atas lagi bergerak ke kiri dan ke kanan di kala berjalan. Luqman melarang putranya dari mengangkat wajah dan memalingkan muka semacam itu dengan rasa sombong yang berjangkit di hati.

Inilah buah dari iman, ilmu, ‘amal, dan dakwah dari seorang putra yang dididik oleh ayahnya. Ialah akhlaq yang indah kepada sesama, berpangkal dari lenyapnya rasa angkuh dalam dada sebab mengenal dirinya dan merundukkan diri karena tahu bahwa dia hanya salah satu makhluq Allah yang memiliki banyak kelemahan serta kesalahan. Inilah akhlaq itu, yakni saripati yang manis, harum, dan lembut dari buah pohon yang akarnya kokoh menghunjam, batangnya tegak menjulang, dan cecabangnya rimbun menggapai langit.

Dan akhirnya, akhlaq itu disuguhkan dalam tampilan yang paling menawan berupa terjaganya Adab dengan cara berjalan yang sopan dan patut serta cara bicara yang lembut dan santun. Inilah pengajaran sempurna dari Luqman kepada putranya, digenapi dengan panduan mengejawantahkan akhlaq menjadi adab. Akhlaq adalah nilai kokoh yang menetap dalam jiwa. Adab mengenal zaman dan tempat yang bertepatan baginya.

Inilah bersusun-susun rasa surga di serumah keluarga, teladan dari Luqman dalam mewariskan nilai-nilai kebajikan pada anaknya, di lapis-lapis keberkahan yang penuh cinta.

sepenuh cinta,

salim a. fillah

http://salimafillah.com/seorang-ayah-di-lapis-berkah/

Selasa, 11 Maret 2014

Aku Sangat Membutuhkan-Mu

Segala puji untuk Allah, Yang menciptakan manusia dan tidak membutuhkan mereka, Yang menciptakan mereka agar mau tunduk dan mengagungkan-Nya, Yang segala manfaat dan madharat ada di tangan-Nya. Semoga pujian dan keselamatan terlimpah kepada Nabi pilihan, sang kekasih ar-Rahman, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Amma ba’du.

Saudaraku, menjalani kehidupan di alam dunia adalah sebuah cobaan dari Rabbul ‘alamin. Allah ta’ala berfirman :

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian, siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2).

Untuk itulah, sebaik-baik insan adalah yang senantiasa menghadirkan perasaan bahwa Rabbnya sedang mengujinya, dengan apapun yang sedang dialaminya; kesenangan, musibah, ataupun terjerembab dalam dosa.
Apakah dia bisa menjadi seorang hamba yang merendahkan diri dan mengagungkan Rabbnya dengan penuh rasa cinta kepada-Nya, yaitu dengan mempersembahkan ibadahnya hanya untuk Dia semata.

Sebagaimana ayat yang selalu kita baca setiap harinya, di setiap raka’at sholat yang kita lakukan. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. ‘Hanya kepada-Mu –ya Allah- kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.’ Dari situlah, maka segala bentuk kejadian yang menimpanya semestinya dapat menjadi sarana untuk menggapai ridha dan cinta-Nya.

Tatkala kenikmatan menyapa, maka segenap rasa syukur pun dia panjatkan kepada-Nya. Tatkala musibah melanda dan menyayat hati, maka ridha dengan takdir dan bersabar menerima kenyataan adalah ibadah yang akan menghiasi hati, lisan, dan anggota badannya.

Demikian pula, ketika hawa nafsu dan bujukan syaitan memperdaya dirinya sehingga dia pun menerjang larangan atau melalaikan kewajibannya, maka kesejukan taubat dan air mata penyesalan akan menghampiri jiwanya.

Saudaraku, berapa banyak kenikmatan yang telah dicurahkan Rabbul ‘alamin kepada kita? Entah berapa banyak, tak ada seorang profesor pun yang yang bisa menjawabnya. Namun, lihatlah keadaan dan tingkah laku kita… Betapa sedikit rasa syukur kita kepada-Nya, dan betapa banyak kemaksiatan yang kita lakukan kepada-Nya. Orang bilang, ‘air susu dibalas air tuba’. Alangkah buruknya, akhlak kita kepada-Nya…

Kita mengaku muslim (orang yang pasrah), namun betapa sering kita membantah aturan dan kebijaksanaan-Nya.

Kita mengaku beriman, namun betapa sering perintah dan larangan-Nya kita ingkari serta berita-Nya yang kita abaikan.

Aduhai, apakah kita merasa mampu membahayakan Rabb yang menguasai jagad raya, dengan kedurhakaan kita kepada-Nya? Demi Allah, hal itu tidaklah bisa membahayakan-Nya! Kamu ini hidup untuk apa?!

Allah berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)

Saudaraku, banyak orang mengira dengan maksiat mereka akan meraih bahagia. Padahal, sebaliknya. Kebahagiaan sejati tak pernah bisa diraih dengan kedurhakaan kepada-Nya. Seorang profesor yang mulia Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah beberapa waktu lalu –dalam ceramahnya di Masjid Istiqlal Jakarta- menyampaikan nasehat yang sangat indah untuk kaum muslimin di Indonesia. Beliau berkata, ‘as-Sa’aadah biyadillah, wa laa tunaalu illa bi thaa’atillah’.

Kebahagiaan itu ada di tangan Allah, dan ia tak akan diraih kecuali dengan taat kepada Allah. Sebuah kalimat yang ringkas, namun sarat akan makna! Semoga Allah membalas beliau dengan sebaik-baik balasan atas nasehat dan arahannya untuk kita…

Saudaraku, demikianlah kenyataannya. Tak ada setetes pun kebahagiaan yang hakiki yang akan diperoleh seorang hamba yang lemah dan penuh dengan kekurangan kecuali dengan cara tunduk dan taat kepada Rabb yang menciptakannya. Oleh sebab itu, Allah mengingatkan segenap insan di alam dunia ini bahwa keberuntungan dan kebahagiaan hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar taat dan mengabdi kepada-Nya. Allah berfirman :

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa, sesungguhnya semua orang benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal salih, serta saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 1-3).

Allah juga mengingatkan :

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى

“Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan sesat dan tidak akan binasa.” (QS. Thaha: 123).

Allah berfirman :

فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Barangsiapa yang dibebaskan dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga maka sesungguhnya dia telah beruntung/sukses. Tidaklah kehidupan dunia ini melainkan sekedar kesenangan yang menipu.” (QS. Ali Imran: 185).

Allah ‘azza wa jalla juga menyatakan :

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى (41

“Adapun barangsiapa yang merasa takut akan kedudukan Rabbnya dan menahan dirinya dari memperturutkan hawa nafsunya, maka surgalah tempat kembalinya.” (QS. an-Naazi’aat: 40-41)

Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Tidak ada kehidupan bagi hati, tidak juga kesenangan dan ketenangan, kecuali dengan cara mengenal Rabb, sesembahan, dan pencipta dirinya. Yaitu dengan mengenal nama-nama, sifat-sifat, serta perbuatan-perbuatan-Nya. Di samping itu semua, dia menjadikan Allah sebagai sesuatu yang lebih dicintainya di atas segala-galanya. Oleh sebab itulah, usaha yang dilakukannya –di alam dunia ini – adalah untuk melakukan perkara-perkara yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya, bukan kepada selain-Nya yang mereka itu semua adalah makhluk-Nya.” (Syarh Aqidah Thahawiyah)

Maka berbahagialah orang yang diberikan taufik oleh Allah untuk mengenal Islam dan mencintainya, mengenal Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti ajarannya, serta menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan dan tempat bergantungnya hati baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

“Akan bisa merasakan lezatnya iman, yaitu orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, ridha Islam sebagai agama, dan Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagai rasul.” (HR. Muslim dari al-Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu).

Lezatnya keimanan, bukan diraih dengan mencicipi berbagai macam resep masakan di berbagai restoran dan rumah makan. Apalagi dengan melakukan perkara-perkara yang mengundang murka Allah yang sangat keras hukumannya. Hal ini menunjukkan kepada kita –wahai saudaraku yang mulia, semoga Allah menyelamatkan kita dari pedihnya neraka- bahwa kebahagiaan yang bersemayam di dalam dada dalam bentuk ridha kepada takdir-Nya, selalu merasa di bawah pengawasan-Nya, ingin menggapai cinta dan ridha-Nya, berharap dan takut kepada-Nya, merupakan kelezatan tiada tara yang menghiasi hati orang-orang yang mengenal keagungan Rabbnya. Kelezatan yang bisa diraih dengan taat kepada-Nya. Mereka itulah sesungguhnya orang yang benar-benar hidup di alam dunia ini, dengan cahaya iman dan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.

Adapun orang-orang ‘tampak berbahagia’ di alam dunia yang fana ini, sementara mereka adalah para pembangkang dan pembantah aturan-Nya, maka sesungguhnya kebahagiaan mereka adalah kesenangan yang semu dan akan berakhir dengan kesengsaraan yang tiada tara. Aduhai, betapa malang orang yang menjual kebahagiaan hakiki dan abadi dengan kesenangan yang semu dan sementara!
Mereka tersenyum, tertawa, dan penuh keceriaan, padahal mereka bergelimang dengan dosa dan kemaksiatan kepada Rabbnya. Mereka tampakkan kepada manusia seolah-olah mereka bahagia dengan kemaksiatannya. Mereka gambarkan kepada manusia bahwa dengan meninggalkan perintah Allah dan rasul-Nya akan memberikan jalan pintas bagi siapa saja untuk meraih kepuasan dan kenikmatan yang luar biasa. Subhanallah, Maha suci Allah… alangkah buruk perbuatan mereka. Mereka rela menjual agamanya demi mendapatkan secuil kenikmatan dunia. Yang dunia itu di sisi Allah tidak lebih berharga daripada sehelai sayap nyamuk! Allahu akbar!

Maka ingatlah selalu wahai saudaraku –semoga Allah meneguhkan diriku dan dirimu di jalan-Nya- kehidupan kita di dunia ini akan berakhir dengan kematian dan bersambung di alam kubur dan hari kebangkitan. Akan ditanyakan kepada kita ‘siapakah sesembahanmu, apa agamamu, siapakah nabimu’. Apakah akan kita jawab nanti bahwa sesembahan kita adalah hawa nafsu, agama kita adalah kebebasan ala binatang, dan nabi kita adalah para wali-wali syaitan? Ya Allah, lindungilah kami dari pedihnya hukuman-Mu…
Lantas, pada saat ini ketika kaki kita masih menginjakkan bumi yang Allah ciptakan, paru-paru kita masih menghirup udara yang Allah ciptakan, tenggorokan kita masih terbasahi dengan air yang Allah alirkan, kulit kita masih merasakan hangatnya sinar matahari yang Allah ciptakan, mata kita masih bisa memandang berkat adanya cahaya yang Allah ciptakan, jantung kita pun masih berdegup mengalirkan darah yang Allah ciptakan, lidah kita masih bisa bergerak dan melontarkan kata-kata yang semuanya pasti Allah dengarkan, maka adakah di antara kita yang membusungkan dadanya di hadapan manusia dan berkata, “Ya Allah, aku tidak membutuhkan-Mu selama-lamanya!”?
Tentu saja, tidak ada orang sebodoh itu yang mampu melakukannya.

Namun, kenyataannya tingkah laku dan perbuatan kita menunjukkan betapa cueknya kita terhadap aturan dan bimbingan-Nya. Seolah-olah tidak ada gunanya Allah mengutus rasul-Nya, tidak ada gunanya Allah turunkan kitab-Nya, dan tidak ada gunanya Allah ciptakan surga dan neraka… Karena kita telah disibukkan dan tenggelam dalam kedurhakaan kepada-Nya…. Dan kita jadikan umur kita habis untuknya, cinta dan benci bukan karena-Nya, memberi dan tidak bukan karena-Nya, diam dan bergerak juga bukan karena-Nya. Bahkan, yang lebih jelek lagi… kita telah memandang keburukan dan dosa kita sebagai kebaikan dan jasa, na’udzu billahi min dzaalik. Afaman zuyyina lahu suu’u ‘amalihi fa ra’aahu hasana..

Maka ketahuilah saudaraku, bahwa kita –tanpa terkecuali- sangat membutuhkan-Nya, di mana saja dan kapan saja kita berada. Karena sesungguhnya langit dan bumi serta segala sesuatu yang di dalamnya adalah berada di bawah kekuasaan dan aturan-Nya. Apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apapun yang tidak Allah kehendaki tidak akan pernah terjadi. Karenanya taufik adalah di tangan-Nya, bukan di tangan kita… maka mintalah kepada-Nya semoga Allah mencurahkan taufik dan bimbingan-Nya kepada kita dan tidak menelantarkan kita dalam kebingungan dan dibiarkan hidup tanpa bantuan dari-Nya. Apakah engkau wahai raja, merasa tidak butuh kepada-Nya? Apakah engkau wahai orang kaya, merasa tidak butuh kepada-Nya? Apakah engkau wahai tentara, merasa tidak butuh kepada-Nya? Apakah engkau wahai orang yang rupawan dan berparas jelita merasa tidak butuh kepada-Nya? Apakah engkau wahai para da’i, merasa tidak butuh kepada-Nya?

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id

Senin, 10 Maret 2014

Ketika Aku Sudah Tua (catatan untuk anak)

Ketika aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula.
Mengertilah... bersabarlah sedikit terhadap aku.

Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu,
ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu.

Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau
dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku.

Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu
kali kuceritakan agar kau tidur.

Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku.
Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi?

Ketika aku tak paham sedikitpun tentang teknologi dan hal-hal baru, jangan
mengejekku.
Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap “mengapa” darimu.

Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk
memapahku.
Seperti aku memapahmu saat kau belajar waktu masih kecil.

Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk
mengingat.
Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau
disamping mendengarkan, aku sudah sangat puas.

Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka.
Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai
belajar menjalani kehidupan.

Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, sekarang
temani aku menjalankan sisa hidupku.

Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa
syukur, dalam senyum ini terdapat cintaku yang tak terhingga untukmu.


Cuplikan talbis iblis

Apabila setan melihatmu dalam keadaan tidak taat kepada Allah Ta'ala
Maka ia telah menganggapmu mati..
Apabila ia melihatmu terus menerus melakukan ketaatan kepada Allah
Maka ia akan berusaha membuatmu bosan dan merintangimu..
Dan apabila
Ia melihatmu taat pada suatu kesempatan
Lantas bermaksiat pada kesempatan lainnya
Maka ia akan lebih bersemangat dalam menggodamu..

(Hasan Basri)

Tablis Iblis, Ibnu Qoyyim al Jauziyah.

Rencana Tuhan itu Indah

Ketika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang menyulam sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet. Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut :”Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara ibu menyelesaikan sulaman ini; nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas.”

Aku heran, mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu semrawut menurut pandanganku. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil :
“Anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan ibu. “
Waktu aku sudah duduk di pangkuan, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet. Kemudian ibu berkata :”Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, ibu hanya mengikutinya. Sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yang ibu lakukan”.

Sering selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan bertanya kepada Allah ; “Allah, apa yang Engkau lakukan ?”. Ia menjawab :” Aku sedang menyulam kehidupanmu.” Dan aku membantah,” Tetapi nampaknya hidup ini ruwet, benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak semuanya memakai warna yang cerah ?”. Kemudian Allah menjawab, “Hambaku, kamu teruskan pekerjaanmu, dan Aku juga menyelesaikan pekerjaanKu di bumi ini. Satu saat nanti Aku akan memanggilmu ke syurga dan mendudukkan kamu di pangkuanKu, dan kamu akan melihat rencanaKu yang indah dari sisiKu.” Subhanallah, Maha Suci Allah SWT.

http://cbd.lapenkop.coop/index.php?op=article_view&id_news=26

“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS An Nahl : 64).

“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”. (QS Al-baqarah 2:28)

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.012/th.01/Safar-Rabi’ul Awwal 1426H/2005M

10 Amal Penghapus Dosa

والمؤمن اذا فعل سيئة فان عقوبتها تندفع عنه بعشرة أسباب

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang mukmin melakukan kemaksiatan maka hukuman akibat maksiat tersebut bisa tercegah dengan sepuluh sebab.

أن يتوب فيتوب الله عليه فان التائب من الذنب كمن لاذنب له

Pertama, mukmin tersebut bertaubat sehingga Allah menerima taubatnya karena sesungguhnya orang yang bertaubat dari suatu dosa itu bagaikan orang yang tidak pernah melakukannya.

او يستغفر فيغفرا

Kedua, atau dia memohon ampun kepada Allah dengan lisannya sehingga Allah mengampuninya.

او يعمل حسنات تمحوها فان الحسنات يذهبن السيئات

Ketiga, atau dia melakukan amal kebajikan yang bisa menghapus kemaksiatannya karena sesungguhnya amal kebajikan itu menghapus dosa amal keburukan.

او يدعو له اخوانه المؤمنون ويستغفرون له حيا وميتا

Keempat, atau didoakan dan dimohonkan ampunan kepada Allah oleh saudaranya sesama orang beriman baik ketika dia masih hidup ataupun setelah meninggal dunia.

او يهدون له من ثواب أعمالهم ما ينفعه الله به

Kelima, atau mendapatkan pahala amal shalih yang dihadiahkan oleh orang-orang yang beriman kepadanya lalu Allah memberi manfaat kepadanya dengan sebab hadiah pahala amal shalih tersebut

او يشفع فيه نبيه محمد

Keenam, atau mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad.

او يبتليه الله تعالى فى الدينا بمصائب تكفر عنه

Ketujuh, atau Allah memberikan ujian kepadanya di dunia dengan berbagai macam musibah yang menjadi sebab terhapusnya dosanya.

او يبتليه فى البرزخ بالصعقة فيكفر بها عنه

Kedelapan, atau Allah mengujinya di alam Barzakh dengan siksaan kubur yang menjadi sebab terhapusnya dosa-dosanya.

او يبتليه فى عرصات القيامة من اهوالها بما يكفر عنه

Kesembilan, atau Allah mengujinya di padang Mahsyar dengan berbagai kengerian yang ada di sana yang hal ini menjadi sebab terhapusnya dosa-dosanya.

او يرحمه ارحم الراحمين

Kesepuluh, atau dia mendapatkan kasih sayang Allah.

فمن اخطأته هذه العشرة فلا يلومن الا نفسه

Siapa yang tidak mendapatkan satu pun dari sepuluh sebab pencegah hukuman atas dosa maka janganlah dia menyalahkan kecuali diri sendiri.

كما قال تعالى فيما يروى عنه رسول الله يا عبادى انما هى اعمالكم احصيها لكم ثم او فيكم اياها فمن وجد خيرا فليحمد الله ومن وجد غير ذلك فلا يلومن الا نفسه
مجموع الفتاوى – (10 / 46-45)

Sebagaimana firman Allah dalam hadits qudsi, “Wahai, hamba-hambaKu itulah amal perbuatan kalian yang kucatat untuk kalian lalu Kuberikan balasan. Siapa yang mendapatkan balasan kebaikan maka hendaknya dia memuji Allah. Sebaliknya siapa yang mendapatkan balasan yang lain maka janganlah dia menyalahkan kecuali dirinya sendiri” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah jilid 10 hal 45-46, cetakan standar).

Catatan:
Perkataan Ibnu Taimiyyah sebagiannya memerlukan uraian penjelasan yang lebih detail.
www.ustadzaris.com

Ada Apa Dengan Kita?

Saudaraku, saat mobil mewah dan mulus yang kita miliki tergores, goresannya bagai menyayat hati kita. Saat kita kehilangan handphone di tengah jalan, separuh tubuh ini seperti hilang bersama barang kebanggaan kita tersebut. Saat orang mengambil secara paksa uang kita, seolah terampas semua harapan.

Tetapi saudaraku, tak sedikitpun keresahan dalam hati saat kita melakukan perbuatan yang melanggar perintah Allah, kita masih merasa tenang meski terlalu sering melalaikan sholat, kita masih berdiri tegak dan sombong meski tak sedikitpun infak dan shodaqoh tersisihkan dari harta kita, meski disekeliling kita anak-anak yatim menangis menahan lapar.
Saudaraku, ada apa dengan kita ?

Saudaraku, kata-kata kotor dan dampratan seketika keluar tatkala sebuah mobil yang melaju kencang menciprati pakaian bersih kita. Enggan dan malu kita menggunakan pakaian yang terkena noda tinta meski setitik dan kita akan tanggalkan pakaian-pakaian yang robek, bolong dan menggantinya dengan yang baru.
Tetapi saudaraku, kita tak pernah ambil pusing dengan tumpukan dosa yang mengotori tubuh ini, kita tak pernah merasa malu berjalan meski wajah kita penuh noda kenistaan, kita pun tak pernah tahu bahwa titik-titik hitam terus menyerang hati ini hingga saatnya hati kita begitu pekat, dan kitapun tak pernah mencoba memperbaharuinya.
Saudaraku, ada apa dengan kita ?

Saudaraku, kita merasa tidak dihormati saat teguran dan sapaan kita tidak didengarkan, hati ini begitu sakit jika orang lain mengindahkan panggilan kita, terkadang kita kecewa saat orang lain tidak mengenali kita meski kita seorang pejabat, pengusahan, kepala pemerintahan, tokoh masyarakat bahkan orang terpandang, kita sangat khawatir kalau-kalau orang membenci kita, dan berat rasanya saat orang-orang meninggalkan kita.

Tetapi juga saudaraku, tidak jarang kita abaikan nasihat orang, begitu sering kita tak mempedulikan panggilan adzan, tak bergetar hati ini saat lantunan ayat-ayat Allah terdengar ditelinga. Dengan segala kealpaan dan kekhilafan, kita tak pernah takut jika Allah Yang Maha Menguasai segalanya membenci kita dan memalingkan wajah-Nya, kita pun tak pernah mau tahu, Baginda Rasulullah mengenali kita atau tidak di Padang Masyhar nanti. Kita juga, tak peduli melihat diri ini jauh dari kumpulan orang-orang sholeh dan beriman.
Saudaraku, tanyakan dalam hati kita masing-masing, ada apa dengan kita ?

Wallahu a’lam bishshowaab
(oleh : Aa Gym)

http://www.eramuslim.com/

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.010/th.01/DzulQoidah-Dzulhijjah 1425H/2005M

Mengenang Akhlak Nabi Muhamad SAW

Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya dan tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan padaku akhlak Muhammad !”. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.

Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini…” Ali menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)

Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa “Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu’minun[23]: 1-11.

Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.

Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, “ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini ?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.” Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita ? Nabi mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.

Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.

Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.

Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, “Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan.”

Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” “Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik.”
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.

Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan “Wahai Nabi”. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.
Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: “Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad sebagai pemimpin.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah Al-Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja,” Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud membantahmu.” Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya (al-hujurat 1-2)

Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia.” Umar juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi.

Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada Nabi, “Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”
Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” “Sudah.” kata Utbah. Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.

Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah !

Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya N abi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? “Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.” Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari kita atau tidak.

Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa barisa di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.” Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.

Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, “lakukanlah!” Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah.” Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.

Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na’udzu billah…

Nabi Muhammad ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari Allah…?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “benar ya Rasul !”.

Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”. Nabi meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah.”Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah… Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah”

[oleh : Nadirsyah Hosen - Dewan Asaatiz Pesantren Virtual]

http://media.isnet.org/islam/Etc/AkhlakNabi.html

note : artikel di atas telah dimuat dalam Labbaik edisi no.010/th.01/DzulQoidah-Dzulhijjah 1425H/2005M

Minggu, 09 Maret 2014

Yakinlah, dan Pejamkan Mata

Iman adalah mata yang terbuka,
mendahului datangnya cahaya
tapi jika terlalu silau, pejamkan saja
lalu rasakan hangatnya keajaiban

Saya tertakjub membaca kisah ini; bahwa Sang Nabi hari itu berdoa.

Di padang Badr yang tandus dan kering, semak durinya yang memerah dan langitnya yang cerah, sesaat kesunyian mendesing. Dua pasukan telah berhadapan. Tak imbang memang. Yang pelik, sebagian mereka terikat oleh darah, namun terpisah oleh ‘aqidah. Dan mereka tahu inilah hari furqan; hari terpisahnya kebenaran dan kebathilan. Ini hari penentuan akankah keberwujudan mereka berlanjut.

Doa itulah yang mencenungkan saya. “Ya Allah”, lirihnya dengan mata kaca, “Jika Kau biarkan pasukan ini binasa, Kau takkan disembah lagi di bumi! Ya Allah, kecuali jika Kau memang menghendaki untuk tak lagi disembah di bumi!” Gemetar bahu itu oleh isaknya, dan selendang di pundaknya pun luruh seiring gigil yang menyesakkan.

Andai boleh lancang, saya menyebutnya doa yang mengancam. Dan Abu Bakr, lelaki dengan iman tanpa retak itu punya kalimat yang jauh lebih santun untuk menggambarkan perasaan saya. “Sudahlah Ya Rasulallah”, bisiknya sambil mengalungkan kembali selendang Sang Nabi, “Demi Allah, Dia takkan pernah mengingkari janjiNya padamu!”

Doa itu telah menerbitkan sejuta tanya di hati saya. Ringkasnya; mengapa begitu bunyinya? Tetapi kemudian, saya membaca lagi dengan sama takjubnya pinta Ibrahim, kekasih Allah itu. “Tunjukkan padaku duhai Rabbi, bagaimana Kau hidupkan yang mati!”, begitu katanya. Ah ya.. Saya menangkap getar yang sama. Saya menangkap nada yang serupa. Itu iman. Itu iman yang gelisah.

Entah mengapa, para peyakin sejati justru selalu menyisakan ruang di hatinya untuk bertanya, atau menagih. Mungkin saja itu bagian dari sisi manusiawi mereka. Atau mungkin justru, itu untuk membedakan iman mereka yang suci dari hawa nafsu yang dicarikan pembenaran. Untuk membedakan keyakinan mereka yang menghunjam dari kepercayaan yang bulat namun tanpa pijakan.

Kita tahu, di Badr hari itu, Abu Jahl juga berdoa. Dengan kuda perkasanya, dengan mata menantangnya, dengan suara lantangnya, dan telunjuk yang mengacung ke langit dia berseru, “Ya Allah, jika yang dibawa Muhammad memang benar dari sisiMu, hujani saja kami dari langit dengan batu!” Berbeda dari Sang Nabi, kalimat doanya begitu bulat, utuh, dan pejal. Tak menyisakan sedikitpun ruang untuk bertanya. Dan dia lebih rela binasa daripada mengakui bahwa kebenaran ada di pihak lawan.

Itukah keyakinan yang sempurna? Bukan. Itu justru kenaïfan. Naif sekali.

Mari bedakan kedua hal ini. Yakin dan naïf. Bahwa dua manusia yang dijamin sebagai teladan terbaik oleh Al Quran memiliki keyakinan yang menghunjam dalam hati, dan keyakinan itu justru sangat manusiawi. Sementara kenaifan telah diajarkan Iblis; untuk menilai sesuatu dari asal penciptaan lalu penilaian itu menghalangi ketaatan pada PenciptaNya. Atau seperti Abu Jahl; rela binasa daripada mengakui kebenaran tak di pihaknya. Atau seperti Khawarij yang diperangi ‘Ali; selalu bicara dengan ayat-ayat suci, tapi lisan dan tangan menyakiti dan menganiaya muslim lain tanpa henti. Khawarij yang selalu berteriak, “Hukum itu hanya milik Allah!”, sekedar untuk menghalangi kaum muslimin berdamai lagi dan mengupayakan kemashlahatan yang lebih besar. Mencita-citakan tegaknya Din, memisahkan diri di Harura dari kumpulan besar muslimin, dan merasa bahwa segala masalah akan selesai dengan kalimat-kalimat. Itu naïf.

Dan beginilah kehidupan para peyakin sejati; tak hanya satu saat dalam kehidupannya, Ibrahim sebagai ayah dan suami, Rasul dan Nabi, harus mengalami pertarungan batin yang sengit. Saat ia diminta meninggalkan isteri dan anaknya berulang kali dia ditanya Hajar mengapa. Dan dia hanya terdiam, menghela nafas panjang, sembari memejamkan mata. Juga ketika dia harus menyembelih Isma’il. Siapa yang bisa meredam kemanusiaannya, kebapakannya, juga rasa sayang dan cintanya pada sesibir tulang yang dinanti dengan berpuluh tahun menghitung hari.

Dan dia memejamkan mata. Lagi-lagi memejamkan mata.

Yang dialami para peyakin sejati agaknya adalah sebuah keterhijaban akan masa depan. Mereka tak tahu apa sesudah itu. Yang mereka tahu saat ini bahwa ada perintah Ilahi untuk begini. Dan iman mereka selalu mengiang-ngiangkan satu kaidah suci, “Jika ini perintah Ilahi, Dia takkan pernah menyia-nyiakan iman dan amal kami.” Lalu mereka bertindak. Mereka padukan tekad untuk taat dengan rasa hati yang kadang masih berat. Mereka satukan keberanian melangkah dengan gelora jiwa yang bertanya-tanya.

Perpaduan itu membuat mereka memejamkan mata. Ya, memejamkan mata.

Begitulah para peyakin sejati. Bagi mereka, hikmah hakiki tak selalu muncul di awal pagi. Mereka harus bersikap di tengah keterhijaban akan masa depan. Cahaya itu belum datang, atau justru terlalu menyilaukan. Tapi mereka harus mengerjakan perintahNya. Seperti Nuh harus membuat kapal, seperti Ibrahim harus menyembelih Isma’il, seperti Musa harus menghadapi Fir’aun dengan lisan gagap dan dosa membunuh, seperti Muhammad dan para sahabatnya harus mengayunkan pedang-pedang mereka pada kerabat yang terikat darah namun terpisah oleh ‘aqidah.

Para pengemban da’wah, jika ada perintahNya yang berat bagi kita, mari pejamkan mata untuk menyempurnakan keterhijaban kita. Lalu kerjakan. Mengerja sambil memejam mata adalah tanda bahwa kita menyerah pasrah pada tanganNya yang telah menulis takdir kita. Tangan yang menuliskan perintah sekaligus mengatur segalanya jadi indah. Tangan yang menuliskan musibah dan kesulitan sebagai sisipan bagi nikmat dan kemudahan. Tangan yang mencipta kita, dan padaNya jua kita akan pulang..

sepenuh cinta,

Salim A. Fillah